ENSIPEDIA.ID – Warganet Indonesia belakangan ini menunjukkan taringnya. Tidak sedikit pejabat publik yang merasa ketar-ketir akibat teror pengungkapan fakta yang dilakukan oleh netizen. Warganet mulai membidik gaya hidup mewah pejabat publik dan mencoba menelusuri kehidupan hedonistik mereka. Jika ditemukan kejanggalan, netizen lainnya tentu saja akan berbondong-bondong untuk memviralkan agar diusut tuntas.
Warganet tidak hanya menyasar sang pejabat publik secara langsung. Warganet juga akan membidik satu per satu dari anggota keluarga pejabat yang dinilai berperilaku mencurigakan.
Fenomena kegaharan warganet ini sebenarnya bisa diidentifikasi sebagai bentuk pengawasan publik terhadap pejabat publik. Sebagai pejabat publik, proses tanggung jawab yang dilakukan tidak hanya ditujukan kepada atasan atau alat negara. Publik yang juga sebagai bagian suatu negara juga dapat menggunakan haknya sebagai alat kontrol sosial. Sebuah bentuk pengawasan ini biasa disebut sebagai sousveillance.
Fenomena Sousveillance sebagai Bentuk Pengawasan Publik
Sousveillance merupakan istilah yang berasal dari bahasa Prancis. Sous dapat diartikan sebagai di bawah, sedangkan veiller diartikan sebagai mengawasi. Sousvillance merupakan sebuah cara mengawasi pihak-pihak yang berkuasa dari bawah. Dalam hal ini, rakyat yang tidak memiliki kekuasaan bisa melakukan pengawasan ke atas, yaitu kepada pejabat atau orang-orang yang berkuasa.
Sousveillance merupakan lawan istilah dari surveillance. Surveillance merupakan bentuk pengawasan dari atas. Orang-orang yang memiliki kekuasaan akan melakukan pengawasan terhadap orang-orang di bawahnya. Pada dasarnya bentuk pengawasan surveillance cenderung sepihak, semena-mena, dan tidak terbuka (rahasia). Hal inilah yang membuat rakyat bawah merasa tertindas dan tidak berdaulat.
Dengan adanya sousveillance, rakyat bawah yang suaranya tidak terdengar bisa saling berkonsolidasi, menumbuhkan kesadaran, membangun solidaritas, dan berjuang melawan pemegang kekuasaan yang semena-mena.
Sousveillance dan Media Sosial
Sousveillance memerlukan sebuah alat dalam proses konfrontasi birokrasi. Tanpa alat tersebut, rakyat bawah tidak akan memiliki pegangan kuat dalam perlawanannya. Maka dari itu, hadirnya fenomena sousveillance berasal dari tumbuhnya kebebasan dalam proses komunikasi dan informasi, misalnya kemudahan teknologi komunikasi, hadirnya telepon, internet, media sosial, dan saluran media informasi lainnya.
Contoh gerakan sousveillance bisa terlihat dari salah satu media sosial, yaitu Twitter. Di Twitter muncul akun-akun yang bertugas mengangkat isu-isu publik untuk diperjuangkan, sebut saja akun Twitter @partaisocmed dan tagar #Viraldulubarudiusut
Perlawanan warganet yang semakin beringas di dunia maya sebenarnya bersumber dari kekecewaan terhadap aparat penegak hukum. Hal ini sesuai dengan pendapat sosiolog Universitas Gadjah Mada, Heru Nugroho yang menyatakan “Cara perlawanan mereka yang kecewa.”
Pejabat yang Kian Terawasi Gerak-Geriknya
Cara pengawasan seperti ini kian membuat resah para pejabat. Bayangkan saja, netizen Indonesia dapat mengungkap dinamika keuangan dan aliran dana suatu barang yang dimiliki oleh pejabat.
Tidak hanya itu, pejabat juga kian mewanti-wanti para anggota keluarganya untuk tidak membuat kegaduhan publik.
Berikut beberapa pejabat publik yang harus angkat tangan akibat gerakan sousveillance warganet Indonesia: Kasus Eko Darmanto yang pernah memimpin Kantor Bea Cukai Yogyakarta yang harus dicopot setelah gaya hidup mewahnya viral di Instagram. Adapula kasus Andhi Pramono yang juga mantan Kepala Kantor Bea Cukai Makassar harus menyandang gelar sebagai tersangka setelah gaya hidup mewah keluarganya viral.
Juga ada nama-nama pejabat atau keluarga pejabat lainnya, seperti istri pejabat Kementerian Sekretariat Negara Esha Rahmashah Abrar, istri Pejabat Pembuat Kebijakan Direktorat Jenderal Hubungan Laut Kementerian Perhubungan Muhammad Rizky Alamsyah dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, Reihana, yang tengah diperiksa KPK.
Lemahnya hukum terhadap pejabat membuat warganet merasa tidak puas akan kebijakan hukum. Mereka menggunakan cara lain dengan akses teknologi yang semakin canggih. Mereka juga melakukan tindakan advokasi di media sosial sebagai bentuk sanksi sosial selain sanksi berdasarkan hukum positif.
Namun demikian, gerakan ini masih dalam perdebatan pro dan kontra. UU ITE dan delik aduan pencemaran nama baik masih menghatui para pejuang sousveillance. Di masa yang aka datang, gerakan sousveillance akan menjadi bagian dari keseharian warganet di Indonesia yang harus dipertimbangkan kehadirannya.***