Filter Bubble: Dampak Media Sosial yang Memerangkap Pikiran

ENSIPEDIA.ID, Kendari – Siapa yang tidak menggunakan media sosial saat ini? Dari ibu-ibu, bapak-bapak, millenial, hingga para gen-Z pasti mengenalnya. Bahkan, tulisan ini juga bisa kamu baca di media sosial. Menurut data yang diperoleh dari We Are Social, per Januari 2021 saja terdapat 160 Juta warga Indonesia yang aktif di media sosial. Dari sumber yang sama, diketahui pula bahwa pengguna internet di Indonesia sangatlah tinggi, paling tidak terdapat 175,4 juta penduduk di Indonesia menggunakan Internet.

Internet dan media sosial merupakan alat yang dikembangkan oleh manusia untuk menunjang kebutuhan dan aktivitas. Sebagai suatu alat, tentunya teknologi tersebut dapat mempermudah pekerjaan manusia. Pekerjaan yang lambat bisa dipercepat. Akan tetapi, suatu masalah timbul apabila alat tersebut hadir dan mengatur segala kehidupan manusia. Salah satu contoh bagaimana media sosial dan internet mengatur manusia adalah algoritma filter bubble.

We shape our tools, and thereafter our tools shape us.” – Marshall McLuhan

Berkenalan Dengan Filter Bubble

Seorang aktivis internet dan penulis bernama Pariser menemukan suatu keanehan pada beranda Facebook teman-temannya. Ia mengamati bahwa temannya yang memiliki pandangan liberal cenderung menampilkan banyak informasi yang liberal pula. Begitu pula teman-temannya yang memiliki pandangan yang konservatif akan menampilkan hal-hal yang konservatif pula. Akhirnya, ia menyadari bahwa setiap postingan, saran, dan rekomendasi yang ditampilkan pada beranda media sosial disusun berdasarkan algoritma sistem. Algoritma tersebut mengambil data berdasarkan apa yang kita sukai, cari, komentari,  dan segala aktivitas lainnya di media sosial. Dalam sebuah seminar di TedTalk, ia pun memberi nama algoritma tersebut sebagai Filter Bubble.

Jadi, filter bubble adalah sebuah algoritma yang didesain oleh pengembang dalam memudahkan penggunanya untuk mendapatkan konten, postingan, rekomendasi yang sesuai dengan perilakunya dalam menggunakan internet ataupun web.

Pada dasarnya, penciptaan filter bubble didesain untuk memudahkan pengguna. Pengguna tidak perlu repot-repot lagi dalam menentukan pilihan. Pilihan-pilihan konten yang disiapkan telah ter-filter dengan sendirinya oleh sistem. Filter bubble juga digunakan sebagai penyaring dari era kebanjiran informasi. Sayangnya, filter bubble merupakan penyaring yang terbuat dari bahasa-bahasa mesin, sehingga hal tersebut tidak akan bisa menyaring informasi berdasarkan apa yang bermanfaat bagi manusia. Sering dengan pepatah berikut? “Apa yang kamu inginkan belum tentu bermanfaat.” Filter bubble hanya merekomendasikan berdasarkan keinginan, bukan kebermanfaatan.

Saringan yang Memerangkap Pikiran

Jika kamu pernah menonton film dokumenter yang berjudul The Social Dilemma, pasti sudah paham betul tentang cara perusahaan-perusahaan media sosial menjebak penggunanya untuk tetap menatap layar ponsel. Mereka senantiasa mencari cara untuk melakukan peretasan psikologi manusia. Ya, semakin banyak dan semakin lama pengguna dalam menatap sosial media atau menonton iklan, semakin banyak pula keuntungan yang mereka dapatkan.

Sadarkah kita dengan dampak filter bubble tersebut? Masalah yang paling sering ditimbulkan ialah terkait produktifitas. Dengan filter bubble, algoritma tersebut akan terus menerus menyajikan informasi-informasi yang disukai pengguna. Dengan hal tersebut, pengguna akan terus-menerus berada dalam aplikasi. Masalah ini tentunya akan membawa pengguna pada sebuah adiksi dan kecanduan.

Masalah lebih besar bisa ditimbulkan oleh filter bubble yaitu akan memerangkap seseorang pada ruang gema (echo chamber). Ruang gema ialah sebuah fenomena yang membuat seseorang hanya melihat informasi, konten, postingan yang memperkuat pendapat mereka sendiri sahaja. Dengan adanya filter bubble, seseorang yang terperangkap dalam ruang gema akan semakin besar. Pasalnya, filter bubble hanya akan merekomendasikan hal-hal yang disenangi oleh pengguna.

Coba perhatikan beranda Facebook orang-orang yang dianggap radikal (Baca: mengakar). Mereka hanya membagikan, menyukai, serta  memposting hal-hal yang berbau dengan keyakinannya. Masih ingat dengan teman Pariser? Seseorang yang liberal jika terperangkap di ruang gema, mereka akan lebih radikal lagi.

Seperti gema suara di ruang tertutup, pikiran yang berulang memperkuat pandangan yang makin mengental dan ekstrim.” –Mariam F. Barata

Lalu, apa masalahnya jika mereka terus-terusan terperangkap di ruang gema tersebut? Tidak peduli dengan kesenangan dan preferensi mereka. Tak ada yang melarang seseorang untuk menyukai sesuatu. Yang berbahaya apabila, kesukaan tersebut apabila terus-menerus disuapi oleh konten berdasarkan filter bubble, maka tak menutup kemungkinan seseorang tersebut akan fanatik ekstrim dengan hal tersebut. Fanatisme, ekstrimisme, dan bias konfirmasi membuat masyarakat akan lebih mudah terpolarisasi dan terpecah belah.

Latest articles