Fenomena Pengemis Online Marak di Media Sosial, Mensos Risma Angkat Bicara

ENSIPEDIA.ID – Fenomena pengemis online menjamur di platform TikTok akhir-akhir ini. Dalam konten tersebut, pembuat konten akan melakukan hal-hal tak lazim, seperti mandi lumpur atau mengguyur air agar diberikan hadiah atau gift oleh netizen. Tak sedikit dari mereka juga yang menjual kesedihan dan rasa iba.

Hal ini ditanggapi oleh Menteri Sosial Tri Rismaharini. Ia akan menegur para peminta-minta di platform media sosial tersebut.

Fenomena Minta-Minta Gift Pengemis Online

Beberapa waktu lalu, viral seorang wanita paruh baya sedang melakukan live streaming di aplikasi TikTok. Video yang ditonton hingga ribuan orang tersebut memperlihatkan wanita tua tersebut sedang duduk di dalam sebuah bak air. Saat netizen memberikannya hadiah, ia akan mengguyur dirinya dan mengucapkan terima kasih.

Video tersebut bukanlah satu-satunya. Ada banyak pembuat konten siaran langsung yang melakukan hal serupa. Bahkan tak sedikit yang melakukannya dengan hal yang berbahaya bagi kesehatan, seperti berendam atau mandi di dalam lumpur.

Tak hanya itu, fenomena ini juga disinyalir menjadi ladang eksploitasi anak. Tak sedikit pembuat konten yang mengikutkan anak yang berada di bawah umur sebagai pancingan kesedihan.

Masih segar diingatan tentang kasus di Suriah. Beberapa anak-anak di sana dieksploitasi untuk melakukan siaran langsung selama berjam-jam. Mereka dijadikan sebagai pengemis online di TikTok dengan iming-imingan imbalan.

Dari penelusuran yang dilakukan oleh BBC, saat live, anak-anak tersebut bisa memperoleh hingga Rp15.000.000 per jam. Namun, salah seorang anak yang berusaha meminta agar matanya bisa dioprasi hanya diberikan imbalan Rp.215.000 selama delapan hari meminta-minta.

Di Indonesia sendiri belum ada sindikat yang ditemukan. Namun, hal ini bisa menjadi bahan acuan kemungkinan adanya onkum di balik siaran langsung meminta-minta tersebut.

Menurut Sosiolog: Ini Sebuah Degradasi Kemanusiaan

Fenomena ini diawali oleh banyaknya live streamer yang berjaya di platform media sosial lainnya. Mereka mendapatkan hadiah berupa hasil saweran dari penonton. Fenomena ‘nyawer’ tersebut bukan lah hal yang baru. Menyawer atau memberikan hadiah virtual sebenarnya bentuk apresiasi penonton terhadap karya yang dipertunjukkan oleh konten kreator.

Namun demikian, fenomena menyawer semakin ke sini semakin mengarah kepada hal yang tidak mengapresiasi. Bukannya memberikan tontonan yang menarik dan menghibur, pembuat konten malah menyuguhkan hal-hal yang terkesan menjual harkatnya.

Menurut sosiolog di Universitas Udayana, para pengemis online tersebut telah menciderai nilai-nilai kemanusiaanya sendiri dan menukarnya dengan uang.

“Meskipun pelaku ngemis online ini tidak mempersoalkan tindakannya, tapi sebetulnya ini kan bentuk degradasi nilai-nilai kemanusiaan. Menurunkan harkat dan martabat manusia,” ungkap Wahyu Budi Nugroho, sosiolog.

Sosiolog dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati menanggapi fenomena pengemis online ini sebagai turunan dari pengemis di jalanan. Ia mengungkapkan bahwa fenomena pengemis online bahkan lebih menguntungkan daripada pengemis konvensional.

“Pertama karena mudah, murah, dan akan lebih luas potensi cakupan orang-orang yang bisa dimintai pertolongan,” ungkap Devie.

Pola dari kedua jenis mengemis ini setidaknya bisa terbaca, yaitu sama-sama mengelabui publik demi menjual rasa iba.

“Sampai melukai anggota tubuh sehingga kemudian mereka betul-betul mampu membuat calon target pemberi pertolongan iba dan akhirnya memberikan bantuan,” lanjutnya.

Mensos akan Menindak Pengemis Online

Tanggapan dilontarkan oleh Menteri Sosial Tri Rismaharini. Ia sedang berkordinasi dengan pemerintah daerah tentang fenomena ini. Ia akan menyurati pemerintah daerah agar melakukan teguran kepada para pengemis di platform medsos tersebut.

“Nanti saya surati ya. Ndak, ndak (bukan ke kepolisian). Saya imbauan ke daerah, tugas saya itu untuk menjalankan. Itu (ngemis online) memang gak boleh,” imbuh Risma.

Saat ini tim di Kemensos sedang mendalami rujukan undang-undang dan perda di setiap daerah tentang larangan yang mengatur fenomena mengemis online.

Hal ini juga sedang didalami lebih lanjut oleh Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik, Kominfo. Kominfo sedang melakukan kajian dan meminta pendapat ahli tentang fenomena pengemis online.

“Kita harus diskusi juga dengan ahlinya. Jangan sampai itu salah, ternyata itu tidak termasuk, bahaya juga kan,” kata Direktur Jenderal IKP Kominfo.

Saat ini, Kominfo sedang menunggu tindakan dari Kemensos sebagai lembaga yang mengatur. Apabila konten tersebut memang melanggar larangan mengemis, maka Kominfo akan mengambil langkah yang sewajarnya.

“Pengemis online itu urusan Kemensos. Berdasarkan permintaan resmi Kominfo, ya akan kami diskusikan dan kemudian mengambil langkah yang diperlukan misalnya, takedown konten,” lanjut Direktur Jendral IKP Kominfo.***

Latest articles