Seharusnya Menjadi Gaya Hidup yang Berkelanjutan, Ini Sisi Buruk Tren Thrifting Bagi Lingkungan Indonesia

ENSIPEDIA.ID – Tren penggunaan baju bekas atau thrift semakin populer seiring dengan kampanye gaya hidup yang berkelanjutan. Menggunakan pakaian bekas menjadi alternatif lain karena harganya yang lebih murah.

Merebaknya toko thrift baik di online maupun di pasar juga memancing tren ini kian populer di kawula muda. Dengan harga miring, tak sedikit tumpukan kain tersebut tersembunyi pakaian yang bermerek dengan kualitas tak murahan.

Thrifting dan Gaya Hidup yang Berkelanjutan

Trifthing juga kian digemari karena bisa mendukung gaya hidup yang sustainable living. Sustainable living adalah gaya hidup yang mengedepankan kelestarian lingkungan dalam upaya memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Menurut laporan United Nations Environment Programme (UNEP), 10 persen emosi karbon dunia berasal dari industri fashion. Sebagian besar limbah air yang digunakan oleh industri tersebut berasal dari proses pencelupan dan pengolahan kain.

Di sisi lain, limbah pakaian bekas juga tak tanggung-tanggung mencemari bumi. Laporan dari Loughborough University mengungkapkan bahwa setiap tahunnya, masyarakat dunia menghasilkan 92 juta ton sampah tekstil setiap tahunnya. Proyeksi di tahun 2030, sampah tekstil akan meningkat hingga 134 juta ton.

Upaya Tren Thrift untuk Lingkungan yang Lebih Ramah

Gagasan thrift disinyalir sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan sampah pakaian. Dengan menggunakan pakaian bekas, maka sampah pakaian masih bisa dimanfaatkan dengan baik dan tidak dibuang.

Selain sampah pakaian jadi, tren ini juga bermanfaat untuk mengurangi limbah kimiah dari industri pakaian. Dengan banyaknya konsumsi pakaian bekas, laju produksi pakaian baru bisa ditekan.

Namun demikian, gaya hidup yang berkelanjutan sepertinya tidak berpihak di Indonesia. Thrifting di Indonesia bahkan disinyalir berdampak buruk bagi lingkungan yang ada.

Dampak Lingkungan Akibat Tren Thrifting

Baru-baru Kementrian Perdagangan Indonesia melarang impor pakaian bekas dari luar negeri. Langkah ini merupakan tindak lanjut dari aspek pelarangan impor limbah. Kemendag memperbolehkan perdagangan barang bekas, namun impor barang bekas itu tidak diperbolehkan.

Data dari BPS pada tahun 2021 menguraikan bahwa ada 8 ton pakaian bekas masuk di tahun tersebut ke Indonesia. Angka yang lebih fantastis disampaikan oleh Trade Map yang mencatat ada 27.420 ton baju bekas masuk ke Indonesia. Tentu saja pakaian tersebut ada yang tidak layak pakai dan hanya berakhir menjadi sampah di lautan atau dibakar begiti saja. Menurut laporan BBC, tahun 2020 lalu bahkan ditemukan 6,1 ton sampah kain di Pantai Timur, Ancol.

Menurut Emenda Sembiring, dosen prodi Teknik Lingkungan, ITB, pada hakikatnya thrifting bisa berdampak positif bagi lingkungan. Namun, dengan syarat pakaianya berasal dari dalam negeri, bukan impor. Ia menyayangkan masih banyak produsen thrifting yang tidak sadar akan dampak lingkungan yang disebabkannya.

Selain itu, tren pakaian thrift juga menimbulkan pola prilaku konsumtif. Menurut salah satu pendiri Zero Waste Indonesia, Amanda Zahra Marsono, mengingatkan bahwa konsumen thrifting harus sadar terhadap pola konsumsi.

“Jangan sampai, pola konsumsi belanja baju menjadi berlebihan mengatasnamakan thrift menjadi momentum untuk memiliki baju lebih dari yang kita butuhkan,” ungkapnya.***

Latest articles