ENSIPEDIA.ID – Sebagai negara dengan Islam sebagai agama mayoritasnya, istilah “halal” pasti sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Halal dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang secara syariat diperbolehkan untuk dilakukakan, digunakan, atau dikonsumsi.
Belakangan ini, gaya hidup halal atau halal lifestyle kian menjadi populer. Orang-orang kian melek dengan apa yang halal untuk dilakukan atau dikonsumsi. Industri tidak ketinggalan dengan tren ini, mereka berlomba-lomba untuk menyediakan hal-hal yang berbau halal dan sesuai dengan syariat.
Gembar-gembor label halal atau cap syar’i ini dapat kita temukan di berbagai sektor, baik kuliner, wisata, kosmetik, jasa keuangan, hingga properti.
Di industri kuliner, produsen tentunya berlomba-lomba mendaftarkan produknya ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, Kementrian Agama untuk memperoleh sertifikat halal. Lalu, ada industri kosmetik yang mengiklankan produknya dengan jaminan kehalalan. Belum lagi industri elektronik yang juga ikut-ikutan mencantumkam logo halal di produknya.
Di sektor jasa, perbankan syariah lebih sering kita dengar sebagai jasa keuangan yang mendorong terlaksananya ekonomi syariah. Setelah itu, muncul juga penerapan ekonomi syariah pada lembaga keuangan lainnya, misalnya pegadaian syariah. Hingga saat ini, terdapat pula industri-industri lainnya, seperti hotel syariah, properti syariah, wisata halal, wisata religi, dan lain sebagainya.
Di sektor fesyen pun tren halal dan syar’i tak kalah berkembangnya. Busana syar’i khususnya untuk para hijabers semakin diminati para kaum hawa. Setiap tahunnya muncul tren-tren gaya hijab yang viral di kalangan masyarakat maupun selebritas.
Dosen ilmu komunikasi, Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Rina Dorojatun mengungkapkan bahwa ada dua alasan gaya hidup halal dan syar’i dilakukan oleh orang-orang, yaitu atas dasar kehidupan sosial atau menyangkut ketaatan menjalankan agama.
“Dengan menerapkan gaya hidup syar’i, setidaknya ada dua hal yang mereka harapkan. Pertama, mereka berharap dapat diterima di kehidupan sosial mereka di dunia karena simbol-simbol kesalehan. Kedua, ibadahnya dapat diterima di akhirat nanti,” ungkap Rina.
Rina juga membaca bahwa tren gaya hidup halal hanya sebagai simbolisasi kesalehan semata, tidak menyentuh pada level ketaatan beragama.
“Sayangnya, kesalehan tersebut hanya tampak dari luar dan sekadar memberi makna dan memaknai ibadah secara simbolis. Gaya hidup tersebut diadopsi hanya demi mengejar gengsi dan rasa ingin dilihat dan dipandang oleh orang lain,” tulisnya dalam The Conversation Indonesia.
Walaupun demikian, ekosistem industri halal di Indonesia sangatlah menjanjikan. Hal ini disampaikan oleh Matsuki, BPJPH Kementrian Agama.
“Kalau kita berhasil memadukan konsep ini, optimistis semua kekuatan untuk mengangkat industri halal Indonesia ke tingkat dunia akan terlaksana. Dengan begitu, ekosistem halal diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi, ladang kreativitas dan produktivitas, serta mengangkat industri halal sebagai sumber kesejahteraan umat,” tulis Matsuki dalam Jawapos.