Quarter Life Crisis: Fase Menuju Kedewasaan

ENSIPEDIA.ID, Jakarta – Pernahkah kalian memberikan pertanyaan serta pernyataan seperti ini kepada diri sendiri atau orang lain? “Gue ngerasa kok di umur segini masih gini-gini aja, ya?”, “Kira-kira di masa depan, gue bisa jadi apa, ya?”, “Gue nggak tau lagi siapa diri gue sebenarnya.” Jika iya, itu adalah hal yang wajar dilakukan ketika seseorang sudah menginjak usia 18 sampai 30-an sebagai indikator dilematis terhadap dirinya. Fase ini dinamakan sebagai Quarter Life Crisis (QLC) atau krisis seperempat abad. Nah, maksudnya apa sih? Mari kita bahas!

Seperti halnya di atas, QLC ini biasanya terjadi pada periode saat seseorang mulai beranjak dari remaja ke dewasa sampai dewasa ke jenjang selanjutnya. Dengan begitu, orang-orang yang sedang berada dalam fase ini akan mengalami kekhawatiran, kebingungan, ketidakpastian, bahkan merasa tidak memiliki tujuan hidup akan kehidupan di masa yang akan datang.

Hal yang paling umum ditemui dalam fase ini adalah mereka akan merasa bahwa karier pekerjaannya sedang buntu, sementara teman-temannya memiliki karier yang sukses. Kemudian, mereka akan bertanya-tanya mengapa mereka tidak dapat menjalin hubungan romantis nan harmonis yang bertahan lama, sedangkan orang-orang terdekatnya sudah menikah dan memiliki anak.

Berangkat dari fenomena di atas, bisa kita lihat benang merahnya kalau rasa cemas dan skeptis terhadap sesuatu adalah beberapa indikasi yang bisa dijadikan sebagai acuan bahwa kita sedang berada dalam fase QLC.

Menurut Dr. Oliver Robinson, seorang peneliti dan pengajar Psikologi di University of Greenwich, London, mengatakan bahwa ada empat fase dalam QLC. Pertama, terperangkapnya perasaan dalam suatu situasi dan kondisi yang berupa pekerjaan, hubungan, dan sebagainya. Kedua, seringkali memikirkan bahwa perubahan mungkin saja terjadi dalam dirinya. Ketiga, periode baru yang mulai membangun kembali kehidupan yang baru. Keempat sekaligus yang terakhir, pengukuhan serta pengokohan komitmen baru mengenai ketertarikan, aspirasi, dan nilai-nilai yang dipegang seseorang.

Apabila kita menelisik lebih jauh mengapa hal ini bisa terjadi dan apa pemicunya, maka jawabannya adalah karena beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam krisis nilai-nilai prinsipiil selama masa transisi menuju tingkat kedewasaan ini. Biasanya merujuk pada masalah personal seseorang yang meliputi nilai-nilai yang dipercayanya, bagaimana ia menghadapi segala bentuk penimbunan beban pikiran dan perasaan, dan seperti apa ia memosisikan dirinya sebagai aktor utama dalam fase ini. Hal-hal yang dianggap sepele namun bermakna di atas ternyata sangat potensial untuk memicu terjadinya QLC.

Lantas, adakah cara atau tip yang bisa kita lakukan ketika menghadapi QLC ini? Setidaknya untuk meminimalisir dan menormalisasi rasa-rasa dilematis yang menyebabkan beban pikiran yang berlebihan. Jadi, apa saja langkah yang harus dilakukan? Simak penjelasannya di bawah ini.

  1. Berhenti Memikirkan Pencapaian Orang Lain

Tatkala pikiran kita disibukkan dengan memikirkan pencapaian atau kesuksesan orang lain, maka tak ayal hal tersebut akan menjadi bumerang kepada diri kita sendiri. Maksud saya, tidak akan ada habisnya dan sia-sia saja apabila kita meng-elu-elukan apa yang didapatkan oleh orang lain dengan cara terus memikirkannya sehingga tidak jarang bisa menimbulkan rasa iri. Alangkah baiknya kita jadikan hal tersebut sebagai motivasi agar kedepannya kita bisa mencapai apa yang kita inginkan layaknya orang-orang yang membuat kita overthinking atau berpikir berlebihan atas pencapaiannya.

  1. Hilangkan Keraguan Menjadi Tindakan

Apabila kita sedang dilanda keraguan atas segala sesuatu dalam hidup, maka tunggu apalagi, jadikan itu sebagai kesempatan untuk melawan keraguanmu menjadi tindakan yang berbuah kenyataan. Mulailah mengisi aktivitas sehari-hari dengan hal-hal positif dan relevan atas keraguanmu itu sendiri sehingga jawabannya akan datang sendiri seiring kita menjalaninya dengan baik. Dimulai dari perasaan tidak cocok akan pekerjaan yang sedang dikerjakan, kamu bisa mengobservasi dan mengevaluasi diri dengan mengisi waktu luang yang diisi oleh kegiatan melepas penat, berdialog dengan teman yang solutif, atau bahkan bisa baca-baca literatur yang berkaitan dengan jawaban atas keraguanmu itu.

  1. Berbincang dengan Orang yang Sefrekuensi

Perlu diketahui bahwa kamu sedang tidak sendiri pada fase QLC ini. Tanpa kamu sadari, bisa saja orang-orang terdekatmu pun sedang mengalami hal yang sama dengan apa yang kamu rasakan. Nah, dengan begitu, kalian bisa memanfaatkannya secara suportif dalam menghadapi fase ini bersama-sama. Selain itu, kamu juga bisa menepis asumsi subyektifmu bahwa kamu tidak sendirian dalam menjalani salah satu fase problematik di dalam kehidupan ini.

Terlepas dari itu semua, saya juga merupakan salah satu dari banyaknya orang yang sedang mengalami ujian ini. Kendati demikian, terkadang saya suka merasa lelah dan putus asa apabila harus dituntut untuk melewati semua ini sendirian. Apa boleh buat. Toh, semua orang pun pasti akan, sedang, dan pernah merasakan hal-hal yang menyebalkan dan merepotkan pada fase QLC ini. Jadi, intinya, biasakanlah dirimu dan temukanlah titik terangnya, baik secara mandiri ataupun bersamaan dengan orang yang seperiode denganmu perihal peranjakan menuju kedewasaan ini.

Mari, angkat minumanmu lalu bersulanglah bersamaku dalam menjalani fase ini bersama-sama!

Mikhael
an ordinary guy who wants to live as a human being.

Latest articles