ENSIPEDIA.ID, Jakarta – Problematika kehidupan seringkali menyelimuti keseharian kita. Acapkali mereka datang secara tiba-tiba dan tidak bisa ditebak pergerakannya. Mungkin hari ini kita bisa tertawa lepas, tetapi keesokan harinya tawa tersebut bisa saja berubah menjadi pilu yang membekas. Atau, barangkali hari ini kita sedang berada di puncak pencapaian, tidak menutup kemungkinan pula setelah itu kita akan dihadapkan dengan kesialan. Dan, bahkan, ada saatnya kita merasa tidak bisa berbuat apa-apa selayaknya kita tidak berguna. Ya, hidup berjalan seperti roda yang berputar. “Apa kita sedang tidak baik-baik saja?” selalu terngiang dalam pikiran.
Di saat seperti ini, terkadang kita enggan untuk menunjukkan apa yang sedang kita rasakan. Bisa jadi karena kita tidak ingin menarik simpati dari orang lain atau mungkin tidak ingin terlihat lemah tak berdaya. Kendati demikian, kita berusaha tegar dan kuat dalam menutupi kondisi yang sebenarnya dengan memperlihatkan senyum dan tawa yang dipaksakan. Padahal, berpura-pura seakan semuanya baik-baik saja itu tidak menandakan kita sebagai seseorang yang benar-benar kuat. Ada kalanya kita harus menunjukkan sisi tidak baik-baik saja kepada orang lain supaya mereka mengerti bahwa kita dan mereka adalah sama-sama makhluk yang tidak luput dengan permasalahan duniawi.
“Oi, gimana kabar loe?”
“Oh! Gue baik-baik aja, kok!”
Pertanyaan retoris yang selalu saya jawab dengan kebohongan supaya tidak menimbulkan rasa penasaran dan beban pikiran baru bagi orang lain. Semenjak itu, rasa-rasanya saya sudah terbiasa berbohong, bukan tanpa sebab melainkan ada penyebabnya. Di antaranya adalah: saya tidak mau orang lain menjadikan beban pikiran dan perasaan saya sebagai bahan eksploitasi; tak juga ingin merepotkan mereka yang kebanyakan hanya penasaran, bukan peduli terhadap apa yang saya alami.
Dimulai dari serangkaian permasalahan mental illness, toxic parenting, bahkan relationship. Rentetan masalah yang saya atau mungkin kita semua alami di atas merupakan indikator utama yang menyebabkan orang-orang bisa tidak baik-baik saja. Bukannya self-diagnose atau mendiagnosis diri sendiri atas kebrengsek*n di atas, melainkan sudah terbukti nyata akibatnya sehingga menimbulkan rasa was-was dan tidak bergairah akan menjalani kehidupan seperti biasanya. Bayangkan, di setiap harinya kalian disuguhkan oleh teriakan-teriakan yang memekakkan gendang telinga, kecemasan berlebih atas apa yang akan datang selanjutnya, dan dibebani oleh permasalahan pribadi pasangan kalian yang sebenarnya ia tidak mencintaimu dengan sungguh selayaknya kamu mencintainya dengan penuh. Sial*n, memang.
Kemudian, tuntutan dan ekspektasi di masyarakat yang destruktif terhadap kita menjadi sebuah faktor lain mengapa kita bisa menjadi tidak baik-baik saja. Mereka kerap kali menaruh harapan dan kepercayaan kepada saya agar setiap harinya saya harus menjadi pribadi yang periang dan berguna bagi masyarakat tanpa mau melihat sisi buruk yang sedang saya jalani di belakang mereka. Mereka tidak mengerti bahwa setiap orang bisa saja sedang mengalami hari yang buruk.
Tatkala lingkungan beserta orang-orangnya demikian tidak sehatnya, ingin rasanya saya berbincang dengan Tuhan secara ekslusif. Bukan untuk meminta pertolongan-Nya, melainkan untuk meluapkan semua beban-beban yang saya pikul sendirian. Cacian dan makian pun tak ayal akan saya lontarkan kepada-Nya. Setidaknya masih ada yang mau dan rela mendengarkan curahan hati daripada tidak sama sekali, bahkan tidak enaknya mesti dipendam sendiri.
Orang-orang sekitar terlalu menyepelekan persoalan problematik yang menyangkut psikis dan fisik seseorang. Mereka hanya bisa mengoceh tentang toxic positivity tanpa pernah mencoba memikirkan dan merasakan betapa beratnya beban yang dipikul sendirian. Memangnya dengan mereka memberikan energi positif secara terus menerus kepada orang-orang seperti saya bakalan meminimalisir atau menuntaskan semuanya? Tidak. Hal tersebut hanya akan menimbulkan beban baru karena secara tidak langsung mereka menuntut supaya semuanya harus terlihat baik-baik saja. Padahal, tidak apa-apa kita mengekspresikan kesedihan dan amarah yang meletup-letup di dada. Sesak rasanya apabila tidak diluapkan begitu saja.
Sudahlah, saya tahu kita semua sedang tidak baik-baik saja. Tidak perlu berpura-pura dan menutupi kesedihanmu dengan tawa yang terpaksa. Menangis dan marahlah sekuat-kuatnya. Namun, jangan lupa untuk menyeka air mata berharga dan meredam amarah yang memuncak itu sesegera mungkin, karena kita tahu bahwa kisah ini tidak akan berujung pada akhir yang buruk. Semuanya belum usai. Bahkan baru dimulai.
Jadi, mari kita rebahkan diri dan memejamkan mata sejenak. Dan, sekarang putarlah lagunya Hindia – Secukupnya. Tanamkan dalam diri dan yakinilah bahwa kita semua bisa melewati ini bersama-sama.