ENSIPEDIA.ID – Hadirnya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) menjadi salah satu kelompok penekan dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Kelompok penekan di sini diartikan sebagai pihak yang memberikan tekanan kepada lembaga politik formal dalam memperjuangkan kepentingan publik. Sejak era kemerdekaan hingga pascareformasi, mahasiswa turut ambil bagian dalam memonitor agenda-agenda publik dan kebijakan pemerintah.
Namun demikian, belakangan ini muncul sinisme dan pandangan yang negatif terhadap BEM dan organisasi kemahasiswaan internal kampus. Misalnya ada ungkapan bahwa masuk organisasi mahasiswa “hanya jadi penjual risol” semata. Ada pula yang menghindari BEM atau organisasi internal kampus karena isu senioritas yang toksik.
Menurut Alfath Bagus Panuntun El Nur, salah satu dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM segaligus peneliti isu aktivisme mahasiswa berpendapat bahwa terdapat penurunan secara drastis gairah mahasiswa untuk bergabung ke dunia aktivisme melalui BEM atau organisasi internal kampus.
Hal ini ditandai dengan minimnya partispasi dalam pemilihan umum mahasiswa dan diskusi-diskusi kritis yang mulai memudar di tubuh mahasiswa.
“Ini dapat terlihat dari minimnya partisipasi dan kurangnya kandidat dalam pemilihan umum mahasiswa (pemilwa), seperti yang terjadi di Universitas Diponegoro hingga Universitas Negeri Padang, serta terbatasnya diskusi-diskusi kritis,” tulis Alfath pada portal The Conversation Indonesia.
Ia mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang membuat mahasiswa cenderung tidak minat terhadap aktivitas gerakan kemahasiswaan. Dosen yang juga pernah menjadi Presiden Mahasiswa BEM KM UGM tersebut membagi menjadi dua faktor, yaitu eksternal dan internal.
Alfath berpendapat bahwa faktor eksternal tersebut ialah adanya Pandemi Covid-19 dan kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang dirilis oleh Kemdikbudristek.
Pandemi Covid-19 tentunya sangat mempengaruhi dunia pendidikan secara menyeluruh, termasuk kegiatan pergerakan mahasiswa. Kampus-kampus di seluruh Indonesia di tutup. Akibatnya, interaksi antarmahasiswa menjadi terbatas. Begitu pula diskusi-diskusi tentang pergerakan menjadi sulit untuk bergerak.
Berikutnya, ada program MBKM. Seperti yang diketahui bahwa BEM menjadi salah satu wadah mahasiswa dalam meningkatkan kapabilitas dan softskill-nya. Namun, paradigma tersebut sudah tergantikan oleh hal yang lebih realistis. Dengan program MBKM, mahasiswa diberi kesempatan untuk magang bersertifikat, mengajar, maupun menambah keterampilan lainnya di luar kampus. Selain mendapatkan pengalaman, prorgam MBKM juga menawarkan insentif yang lumayan bagi mahasiswa.
Selain kedua faktor di atas, ada faktor internal yang memengaruhi kurangnya kualitas gerak aktivisme mahasiswa. Setidaknya, Alfath menyebut ada tiga faktor yang menyebabkannya.
“Pertama, lemahnya kemampuan BEM tiap kampus dalam membaca dinamika sosial-politik dan advokasi kebijakan publik. Kedua, adanya kesulitan membangun titik temu dalam relasi-relasi dan kegiatan BEM. Ketiga, rendahnya kualitas literasi dan kesadaran politik mahasiswa,” tulis Alfath.
Mahasiswa saat ini seharusnya tetap mempertahankan statusnya sebagai kelompok penekan. Dengan adanya gerakan yang masif dan terstruktur, mahasiswa tetap bisa sebagai monitor demokrasi.
“Ke depannya, BEM harus mampu menyelesaikan persoalan lokal, riil, dan menyentuh kepentingan rakyat,” tulis Alfath.