ENSIPEDIA.ID, KENDAL – Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan salah satu partai komunis terbesar pada zamannya di mana ia menempati posisi ketiga setelah Uni Soviet dan Tiongkok.
PKI Pemikat Rakyat Andal
PKI menjadi partai tersohor kala itu karena mampu menarik perhatian rakyat dengan membuat program-program yang menuntaskan kegelisahan masyarakat. Petingginya juga tak segan menggelontorkan dana yang besar untuk kegiatan warga.
“Meski kebijakannya sentralistik, pendekatan PKI di daerah amat disesuaikan dengan kondisi masyarakat,” kata sosiolog Arbi Sanit, penulis buku Badai Revolusi: Sketsa Politik Kekuatan PKI di Jawa Tengah & Jawa Timur.
Dalam meningkatkan citranya, PKI tampil begitu totalitas. Salah satunya seperti langkah PKI dalam menanggapi krisis pangan dan bencana kelaparan di Gunung Kidul pada pertengahan 1950. Tanah di Gunung Kidul memang tidak cocok bila ditanami Padi, sehingga masyarakat lebih memilih makan singkong. PKI pun gerak cepat dengan mengadakan program penyuluhan penanaman singkong.
“Kalau lagi musim mainan anak layang-layang, PKI bagi-bagi layangan gratis. Nanti keluarga yang terima layang-layang itu, dicatat sebagai penerima dan terdaftar sebagai anggota PKI. Siapa yang pernah terdaftar ada urusannya dengan PKI, itu dianggap jadi anggota,” ujar Sanit.
Tak hanya di bidang pangan, program-program PKI juga meluas hingga ke budaya dan kesehatan. Program tersebut dikemas untuk rakyat Jawa Timur dengan pengadaan pengembangan kesenian daerah (ludruk) dan program minum air bersih yang menyasar rakyat pedesaan.
PKI terus meluaskan pengaruh komunisnya ke berbagai wilayah di luar Pulau Jawa. Partai palu arit itu juga mulai memancing simpati rakyat yang berada di kawasan basis parpol musuhnya, Masyumi. Dengan itu, PKI mampu menarik perhatian rakyat agar jumlah pendukung semakin meningkat.
Gaya PKI dalam memperkuat dan meluaskan basisnya adalah dengan memahami betul isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat. PKI membantu rakyat dalam memperjuangkan hak dan suaranya di mana pada saat itu masih banyak wilayah yang mempraktikkan perbudakan. Dengan cara itulah, propaganda PKI sukses hingga di tahun 1960 jumlah anggotanya mencapai 3,5 juta – 20 juta.
Nama yang Tercoreng
Selain menyebarkan pengaruhnya dengan menarik simpati rakyat, PKI juga sempat melakukan sebuah tragedi nasional yang hingga kini dikenal dengan Peristiwa PKI Madiun. Peristiwa ini terjadi pada 1948 dengan berpusat di Madiun, Jawa Timur.
Gerakan ini dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dan Muso. Mulanya, PKI melancarkan propaganda anti-pemerintah dan pemogokan kerja oleh para buruh di beberapa wilayah Jawa Timur. Tak lama, PKI juga mulai menculik dan membunuh tokoh-tokoh penting, seperti Gubernur pertama Jawa Timur, hingga Dr. Moewardi.
Puncaknya, pada 18 September 1948 PKI mengumumkan berdirinya pemerintahan Republik Soviet Indonesia di Madiun. Pemerintah Republik Indonesia tak tinggal diam, Panglima Besar Sudirman lantas memerintah Kolonel Gatot Soebroto dan Kolonel Sungkono untuk memimpin penumpasan pemberontakan. Gerakan PKI Madiun pun berhasil ditumpas.
Selang 17 tahun kemudian, PKI kembali melancarkan serangannya secara terang-terangan. Tepatnya di tahun 1965. Tragedi kelam itu dikenal dengan sebutan G30SPKI, yang tokoh utamanya ialah Ketua PKI itu sendiri bernama DN. Aidit.
Pemberontakan ini menewaskan 6 jenderal dan 1 perwira menengah yang kini dikenal dengan sebutan 7 Pahlawan Revolusi. Peristiwa besar ini juga mengguncang situasi politik di Indonesia kala itu. Tidak berselang lama, G30SPKI pun berhasil ditumpas. Namun, tak hanya berhenti di situ, “pembersihan” PKI itu sendiri jauh lebih mengerikan.
Pembantaian Massal 1965 – 1966
Sejarah kelam bangsa Indonesia di masa lampau memang tak akan ada habisnya bila dibahas. Salah satunya adalah pembantaian PKI tahun 1965-1966 yang termasuk pelanggaran HAM tingkat berat.
Peristiwa G30SPKI yang diprakarsai oleh beberapa tokoh elite politik itu memantik amarah petinggi militer hingga memicu dilakukannya “balasan” dengan pembantaian massal atau genosida.
Robet Cribb dalam ‘The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Jawa and Bali’ menerangkan bahwa genosida dimulai beberapa pekan setelah percobaan kudeta gagal itu dilakukan. Pembunuhan massal itu menyisir seluruh wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali yang di mana ketiga wilayah tersebut dicurigai sebagai basis terbesar PKI. Aksi tersebut juga menyebar di beberapa titik pulau-pulau lain, tetapi skalanya lebih kecil.
Jumlah anggota dan pendukung PKI pada masa itu memang terbilang sangat besar. Jumlah yang besar ini didapat dari daftar para penerima bantuan dan pembinaan program-program PKI. Baik orang tua maupun remaja yang tertulis dalam daftar itu, langsung dicap sebagai anggota PKI.
Dalam melakukan pembersihan PKI, tentara dibantu oleh masyarakat sipil yang anti-komunisme. Mereka dipersenjatai serta diberikan pelatihan dasar. Dalam pembunuhan massal itu, tentara seringkali tak melakukan verifikasi atau pengecekan apakah yang diadili itu benar anggota PKI atau bukan.
“Kebanyakan, pihak yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan itu adalah tentara dan kelompok vigilante. Di beberapa kasus, tentara turun langsung dalam pembuhuhan. Kadang, mereka memasok senjata dan pelatihan dasar dan dukungan kepada kelompok sipil yang melakukan banyak pembunuhan,” tulis Cribb.
Aksi pembunuhan massal ini dilakukan dengan cepat dan dalam kurun waktu singkat. Operasi-operasi militer yang dijalankan juga diselimuti dengan dendam pribadi maupun kelompok sehingga rawan terbunuhnya orang-orang yang tidak bersalah. Pembantaian ini juga membawa isu rasial di mana salah satu korbannya kebanyakan berasal dari kelompok etnis Tionghoa.
Penyebutan data angka korban jiwa memiliki banyak versi, ada yang menyebut puluhan ribu, ratusan ribu hingga jutaan orang.
Dikutip dari tulisan Robert Cribb dan Victor M Fic secara terpisah, jumlah resmi dari korban yang terbunuh adalah sebanyak 78.000 jiwa. Angka ini disampaikan oleh Komisi Pencari Fakta di bawah Mayor Jenderal Sumarno. Komisi itu sendiri dibentuk pada akhir Desember 1965 di saat pembantaian masih berlangsung.
Dilansir dari detik.com, rincian 78.000 orang korban tewas pada saat itu berasal dari 54.000 orang di Jawa Timur, 12.500 orang di Bali, 10.000 orang di Jawa Tengah, dan 2.000 orang di Sumatera Utara. Jumlah korban ini dilaporkan dalam koran ABRI, Angkatan Bersendjata, pada 10-11 Februari 1966.
Komisi pencari fakta sendiri menyebut angka ini terbilang masih rendah dan tidak menggambarkan fakta di lapangan karena pendataan dilakukan sebelum pembantaian massal itu berakhir.
Sedangkan survei Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menyatakan jumlah korban jiwa mencapai 1 juta orang. Rinciannya sebesar 800 ribu jiwa berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan 100 ribu dari Bali, sisanya dari wilayah-wilayah lain. Namun data ini juga dianggap tak relevan.
“Biasanya, laporan itu didapat dari kepala desa yang bangga dan melebih-lebihkan jumlah orang yang berhasil dibantainya,” tulis Cribb.