ENSIPEDIA.ID, Jember – Ratusan kepala desa yang tergabung ke dalam Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Pabdesi) menggelar aksi di depan Gedung DPR RI pada Selasa, 17 Januari 2023.
Mereka menuntut agar pemerintah dalam hal ini DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 pasal 39 Tentang Desa agar masa jabatan kepala desa yang awalnya 6 Tahun bertambah menjadi 9 Tahun setiap periodenya.’
Usulan ini pun mendapatkan pro dan kontra dari beberapa pihak. Salah satu pihak yang tidak setuju dengan wacana ini adalah Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jember, Adam Muhshi. Ia menilai bahwa penambahan masa jabatan dari 6 Tahun menjadi 9 Tahun berpotensi terjadi tindak pidana korupsi karena terlalu lama berkuasa.
“Secara substansi dalam hukum tata negara perlu dilakukan pembatasan kekuasaan untuk mencegah absolutisme atau kesewenang-wenangan. Kalau semakin lama menjabat maka potensi korupsi semakin terbuka,” katanya, seperti dilansir dari Tempo.
Pendapat ini juga didukung data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyatakan bahwa tercatat ada 601 kasus korupsi dana desa di Indonesia dan sebanyak 686 kepala desa terjerat dalam kasus tersebut dari Tahun 2012 hingga 2021.
Ia juga menganggap bahwa wacana jabatan kepala desa selama 9 Tahun ini bukan berasal dari aspirasi masyarakat melainkan hanya untuk kepentingan kades.
“Saya kurang setuju dengan tuntutan para kepala desa tersebut karena tuntutan itu tidak mengedepankan aspirasi masyarakat, namun kepentingan kades semata untuk berkuasa lebih lama,” tuturnya.
Di lain sisi, Abdul Halim Iskandar selaku Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) mendukung terkait dengan wacana ini. Menurutnya, dengan masa jabatan yang bertambah menjadi 9 Tahun akan memberikan manfaat bagi masyarakat desa.
“Yang diuntungkan dengan kondisi ini adalah warga masyarakat. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah warga masyarakat tidak perlu terlalu sering menghadapi suasana ketegangan yang tidak produktif. Karena yang enggak produktif enggak cuma kepala desanya tapi juga warganya,” ujar Halim dalam keterangannya di laman resmi Kemendes PDTT.
Halim menjelaskan bahwa ketika Pilkades usai digelar, sering terjadi konflik dan polarisasi. Akibatnya pembangunan desa menjadi tersendat dan berbagai aktivitas yang ada di desa menjadi terbengkalai.
“Artinya apa yg dirasakan kepala desa sudah saya rasakan bahkan sebelum saya jadi Ketua DPRD. Saya mengikuti tahapan politik di pilkades. Saya mencermati bagaimana kampanye yang waktu itu,” ujarnya.
Halim juga menghimbau kepada masyarakat untuk tidak khawatir jika kepala desa tempat mereka tinggal memiliki kinerja yang buruk karena Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memiliki kewenangan memberhentikan kepala desa yang memiliki kinerja buruk.
“Ada mekanisme bahwa Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden itu berhak memberhentikan Bupati atau Walikota ketika kinerjanya sangat buruk. Nah, kalau Bupati dan Wali Kota saja bisa diberhentikan di tengah jalan apalagi Kepala Desa,” jelas Halim.