Kisah Hilangnya Gubernur Bali Sutedja Pasca G30S

ENSIPEDIA.ID, Jember – Korban penumpasan pasca Gerakan 30 September tidak hanya menyasar kepada anggota dan simpatisan PKI. Namun lebih dari itu, orang yang statusnya masih terduga pun terkena imbasnya. Contoh dari korban tersebut adalah Gubernur pertama Bali, Anak Agung Bagus Sutedja.

29 Juli 1966 mungkin akan menjadi hari biasa bagi keluarga gubernur pertama Bali, Sutedja. Namun, peristiwa tak disangka muncul ketika sebuah mobil Jeep Nissan Patrol berhenti di rumah sang gubernur yang berlokasi di Kompleks Senayan 261/262, Jakarta sekitar pukul 09.00 WIB.

Terlihat tiga orang berseragam tentara turun dari mobil dan satu orang lainnya menunggu di mobil. Mereka bergerak ke rumah Sutedja dengan persenjataan satu pistol yang digunakan oleh sang komandan dan dua anggotanya menggunakan senjata laras panjang.

Dalam buku “Kisah Penculikan Gubernur Bali, Sutedja 1966” yang ditulis oleh wartawan senior harian Sinar Harapan, Aju, komandan berpangkat Sersan Satu itu kemudian bertanya.

“Apakah Bapak ada di rumah?” ujarnya.

“Bapak ada,” jawab Anak Agung Istri Ngurah Sunitri, istri Sutedja yang menerima mereka.

Tak lama setelahnya, Sutedja pun keluar untuk menghampiri orang yang mencarinya tersebut.

“Ada apa?,” tanya dia.

Ketiga tentara tersebut pun memberikan hormat kepada Sutedja selayaknya penghormatan kepada pejabat negara selevel gubernur. Tentara yang berpangkat Sersan Satu pun menjawab.

“Bapak Gubernur diminta datang oleh Kapten Teddy di Jalan Perwira, Medan Merdeka,” katanya.

Tempat yang dimaksud merupakan Markas Staf Komando Garnizun Medan Merdeka, Jakarta. Karena ketiga orang tentara tersebut cukup sopan dan tidak mencurigakan, maka Sutedja pun bersedia untuk datang dan segera mempersiapkan diri dengan berpakaian rapi. Ia mengenakan kemeja lengan panjang biru muda dan dipadukan dengan celana hitam.

Sutedja kemudian pun pamitan dengan istrinya. Sebelum mobil berangkat, istri dari Sutedja mencatat plat nomor dari mobil yang membawa suaminya. Sayangnya, ia lupa untuk menanyakan surat tugas penjemputan suaminya.

Sutedja sendiri diangkat menjadi Gubernur Provinsi Bali pada 1959. Ia ditugaskan tinggal di Jakarta atas perintah dari Presiden Soekarno berdasarkan SK nomor 380/1965. Ia berkantor di Kementerian Dalam Negeri dan Dewan Pertimbangan Agung.

Melihat suaminya yang tak kunjung pulang dan memberikan kabar hingga larut malam, maka sang istri mulai menaruh rasa curiga dan membuat laporan kepada polisi ditemani oleh salah seorang staf kementerian pada pukul 23.00 WIB.

Namun demikian, pihak dari Markas Staf Komando Garnizun Medan Merdeka mengaku tidak pernah menjadwalkan pertemuan dengan Sutedja. Nama Kapten Teddy yang disebut oleh tiga tentara misterius tersebut juga tidak dikenal di Markas Komando Garnizun Medan Merdeka begitupun dengan mobil yang membawa Sutedja tidak ditemukan.

Sunitri juga melapor kepada Soekarno yang pada saat itu sudah menjadi tahanan rumah oleh Panglima Angkatan Darat, Letjen TNI Soeharto di Istana Bogor. Sayangnya, Soekarno mengaku tidak pernah memanggil Sutedja. Pengakuan yang sama pun diutarakan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kantor Dewan Pertimbangan Agung.

Pencarian Sutedja akhirnya dipegang kendalinya oleh sang anak, Anak Agung Gede Agung Benny Sutedja yang pada saat tragedi penculikan sedang bertugas melaksanakan Operasi Trikora di Irian Jaya.

Pasca tahun 1970, Benny dimutasi dari Irian Jaya ke Jakarta. Hal tersebut dimanfaatkannya oleh mengorek informasi terkait keberadaan ayahnya. Tapi jawaban Menteri Dalam Negeri Basuki Rachmat dan Kepala Skrining Nasional Gatot Subroto selalu tidak memuaskan.

Keluarga besar di Puri Negara Djembrana dari Kabupaten Jembrana, Bali menyebut Anak Agung Bagus Sutedja meninggal dunia sebagai korban konspirasi penculikan politik. Hal tersebut diperkuat dengan bukti bahwa sebelum diangkat menjadi Gubernur, Sutedja mendapatkan fitnah besar dari lawan politiknya yang mengatakan bahwa ia merupakan simpatisan PKI.

Selama tiga dasawarsa, Puri Agung Negara Djembrana terpaksa menanggung anggapan masyarakat terkait keterlibatannya dalam gerakan PKI. Tudingan keji tersebut kemudian dianulir oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Sudomo yang menyatakan tidak ada bukti Gubernur Bali terlibat PKI.

Meskipun tuduhan tersebut telah dianulir oleh pemerintah, hak ahli waris dari Sutedja diabaikan oleh pemerintah. Ahli waris yang mengirimkan surat dari era Presiden Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono tidak membuahkan hasil apapun.

 

Ubay Muzemmil
Gak tau mau ditulis apa

Latest articles