Kisah Dwitunggal Soekarno-Hatta: Terpisahkan oleh Politik, tetapi Tetap Kawan

ENSIPEDIA. ID, KENDAL – kisah persahabatan “sehati” Soekarno dan Hatta seak dulu memang sudah dikenal oleh warga Indonesia. Keduanya sampai dijuluki dwitunggal yaitu dua yang menjadi satu karena perjuangannya memimpin bangsa di awal kemerdekaan Republik Indonesia.

Namun siapa sangka, hubungan mereka tak selalu akur. Keduanya beberapa kali terjebak dalam perdebatan sengit dalam memandang suatu permasalahan di lingkungan pemerintahan. Bahkan di awal pertemuannya, mereka sudah berbeda pandangan mengenai kemerdekaan Indonesia.

“Pada tahun 1920an, antara kami telah terdapat keretakan ketika aku menjadi eksponen utama dengan pendirian bahwa nonkoperasi, sedang dia (Hatta), sebagai eksponen utama dengan pendirian bahwa kerja sama dengan pemerintah (Belanda) tidak menjadi halangan untuk mencapai tujuan,” tutur Soekarno dalam autobiografinya berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.

Lalu, sistem multipartai yang didambakan Hatta ternyata dijengkeli oleh Soekarno. Hatta menganggap partai merupakan kendaraan politik yang mampu menampung aspirasi dari masyarakat, sedangkan Soekarno lebih condong pada musyawarah dan mufakat sehingga ia lebih setuju pada sistem partai tunggal. Menurut Soekarno, banyaknya partai justru akan menimbulkan perpecahan.

Soekarno juga bersikeras mengatakan kekuatan komunisme dapat dikendalikan oleh pemerintah, tetapi Hatta menganggap komunisme sebagai bahaya laten yang harus dilarang.

Pergolakan politik semakin menjadi-jadi saat Soekarno dengan idenya mendorong diterapkannya Demokrasi Terpimpin, sebuah konsep demokrasi yang sistem pemerintahannya terpusat atau dipimpin oleh satu pemimpin, dalam hal ini presiden.

Konsep tersebut sangat dibenci oleh Hatta. Bagaimana tidak, ia merupakan seorang yang menganggap pemerintah haruslah mempunyai batasan wewenang dalam memerintah sebuah negara. Menurut Hatta, demokrasi secara konstitusional dianggap lebih cocok bagi bangsa Indonesia.

Di awal kemerdekaan, pemerintah terlihat suka mencoba-coba sebuah sistem demokrasi demi mendapatkan konsep yang paling cocok bagi bangsa Indonesia. Hal ini tampak dalam catatan sejarah bangsa di mana sudah terjadi 6 kali pergantian sistem demokrasi sepanjang kemerdekaan Indonesia.

Situasi konflik politik antara Soekarno-Hatta semakin memanas ketika Hatta mengajukan surat pengunduran diri sebagai wakil presiden pada 1956. Alasannya karena saat penerapan Demokrasi Parlementer, peran dan fungsi wakil negara sudah tidak dibutuhkan lagi atau hanya sebagai simbol saja.

Mulanya, pengajuan pengunduran diri itu ditolak oleh DPR. Cara menolaknya halus, yaitu dengan membiarkan surat tersebut dan tidak membalasnya. Apalagi, setahun sebelum itu, tepatnya pada 1955 Hatta juga pernah mengirim pengajuan serupa kepada DPR. Namun setelah ditelaah lagi, hal tersebut ternyata penting untuk dibahas dalam sidang.

Hasilnya, DPR akhirnya menyetujui pengunduran diri Mohammad Hatta. Ia resmi mundur dari jabatannya pada 1 Desember 1956 setelah menjabat sebagai wapres selama 11 tahun.

Dari begitu banyaknya perbedaan pandangan antara Soekarno-Hatta yang cukup membuat tegang kondisi politik Indonesia, ternyata mereka tetap menyimpan makna persahabatan sejati.

Setelah mundurnya Hatta dari kursi wakil presiden, ia bahkan pernah menggantikan Soekarno sebagai wali nikah putra sulungnya. Saat itu, Soekarno memang sedang sering jatuh sakit.

Hatta dan Soekarno juga menyampingkan ego pribadinya dalam ranah politik sehingga masih sering terlihat minum teh bersama. Bahkan pada 16 Juni 1970, Hatta turut hadir menjenguk Soekarno yang kala itu terbujur lemas diserang penyakit. Mereka terpantau saling menanyakan kabar.

Hatta yang melihat kondisi Soekarno tak kuasa menahan tangis sembari menggenggam erat tangan sahabatnya itu. Selang 5 hari setelah kunjungan Hatta, tepatnya pada 21 Juni 1970 Soekarno mengembuskan napas terakhirnya di RSAD Gatot Soebroto.

 

 

 

Hilmi Harsaputra
Menyukai bidang sosial-hukum, sosial-budaya, geografi, dan astronomi.

Latest articles