Belajar Tidak Meremehkan Sampah dengan Tragedi Leuwigajah, Petaka Sampah Mematikan

ENSIPEDIA. ID, KENDAL – sampah menjadi salah satu masalah terbesar yang harus diselesaikan oleh setiap negara di dunia. Problematiknya akan selalu ada bila manusia belum dapat menggunakan setiap benda dengan baik.

Dalam perkembangan hidup manusia, bencana-bencana besar selalu hadir di setiap tahun. Baik bencana yang berasal oleh alam, maupun dari manusia itu sendiri. Tak terkecuali, bencana dari benda yang bahkan tak terpikirkan sebelumnya, yaitu bencana sampah.

Sebuah Petaka dari Sampah: Tragedi Leuwigajah

Foto TPA Leuwigajah | Kompaspedia

Tragedi Leuwigajah merupakan bencana alam terbesar kedua di dunia yang berasal dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Bencana ini terjadi pada Senin, 21 Februari 2005 pukul 02.00 WIB saat para warga sedang tertidur lelap.

Tragedi yang dahsyat ini menewaskan lebih dari 140 korban jiwa bersamaan dengan dihapusnya 2 desa dari peta. Bagaimana sebuah sampah dari TPA bisa menghasilkan bencana yang menewaskan ratusan orang?

Semuanya bermula ketika terjadi hujan lebat selama dua malam berturut-turut yang mengguyur Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. TPA itu terbentang sepanjang 200 meter dengan ketinggian mencapai 60 meter. Tentu, luas sebesar itu adalah sampah.

Kala itu, banyak pemulung yang sedang mengais pundi-pundi rupiah. Di sisi lain, pagi hari pukul 02.00 WIB adalah waktu kebanyakan orang beristirahat. Aktivitas pagi di Kampung Cilimus dan Kampung Pojok berjalan seperti biasanya.

Namun, di tumpukan sampah yang tinggi itu sebenarnya tersimpan masalah besar. Sampah organik yang tertimbun di bagian paling bawah dan telah mengalami pembusukan akan membentuk gas metana.

Gas metana dalam konsentrasi tertentu yang bercampur dengan udara dan terdapat kontak sumber panas akan mudah terbakar. Fakta terburuknya adalah, gas ini juga dapat meledak. Seperti halnya di TPA Leuwigajah, metana menjadi bom sampah yang siap meledak kapanpun.

Pagi itu, terjadi ledakan di TPA tersebut yang mirip sebuah bom. Beriringan dengan suara ledakan, volume hujan yang turun membuat struktur sampah goyah hingga akhirnya terjadi longsor sampah.

Tumpukan yang telah menjadi gunung sampah itu tidak hanya longsor semata, tetapi membuat ombak sampah yang turut menentukan jumlah korban jiwa. Ombak itu menelan dua desa sekaligus.

Para warga yang tengah tertidur pulas mendadak diserang ombak sampah yang langsung menelan mereka hidup-hidup. Tingginya sampah bergerak cepat hingga menyebar 1 kilometer di sekitar wilayah TPA.

Akhir Cerita TPA Leuwigajah

TPA Leuwigajah langsung dinonaktifkan pasca terjadi tragedi mematikan

Setelah peristiwa besar itu terjadi, pemerintah dan masyarakat segera mengevaluasi diri. Membersihkan Bandung Raya dengan meniadakan TPA di wilayahnya.

Kota Bandung yang menjadi penyumbang terbesar sampah di TPA Leuwigajah mendapatkan satu masalah baru setelah tempat itu dinonaktifkan. Sampah yang dulunya disetor ke TPA kini menumpuk di Tempat Pembuangan Sementara (TPS).

Selang beberapa hari, TPS yang luasnya terbatas itu tak mampu lagi menampung sampah. Sontak, wilayah Kota Bandung dipenuhi sampah di hari-hari berikutnya. Kota yang terkenal akan keasriannya itu berubah menjadi daerah yang jorok dan bau. Hingga muncul satu julukan baru, “Bandung Lautan Sampah.”

Keadaan ini memaksa pemerintah membuka TPA baru di Bandung Raya, yakni TPA Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat. Namun, TPA ini hadir untuk sementara waktu menunggu datangnya solusi terbaik dari para pemangku kebijakan.

Kini, tanah yang dulunya merupakan TPA Leuwigajah telah menghijau. Tempat yang kala itu berbau menyengat, berangsur pulih dengan pudarnya bau-bau tak sedap. Namun, kenangan yang ada di dalamnya tak akan pernah pudar.

Lahirnya Hari Peduli Sampah Nasional 

Tanah eks TPA Leuwigajah kini menghijau | Zero Waste Adventures

Tragedi besar itu menimbulkan bekas luka yang mendalam bagi rakyat Indonesia. Peristiwa longsornya 200 ton sampah ini menjadi cikal bakal lahirnya Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang diperingati setiap 21 Februari, tepat di mana peristiwa ini berlangsung.

Pemerintah yang dulu aktif saat HPSN diperingati, kini terkesan abai dan tak pernah lagi terlibat. Hanya masyarakat setempatlah yang masih terus memperingati karena terpendam luka akibat kengerian bencana ini.

Masyarakat setempat menyilakan siapapun yang ingin datang ke Kampung Adat Cireundeu. Entah untuk berkunjung, mengingat tragedi atau bahkan berwisata. Yang terpenting, semuanya datang dengan membawa tujuan baik.

Kini 18 tahun telah berlalu. Masyarakat setempat tak menyalahkan siapapun, baik itu pemerintah maupun warga yang menyumbang sampah di tempat yang dulunya TPA itu. Longsoran sampah menjadi persemayaman terakhir bagi mereka yang jasadnya belum ditemukan hingga sekarang.

 

 

 

 

 

 

 

 

Hilmi Harsaputra
Menyukai bidang sosial-hukum, sosial-budaya, geografi, dan astronomi.

Latest articles