ENSIPEDIA.ID, Jember – Secara geografis mungkin Suriname dan Indonesia memiliki jarak yang jauh, Benua Asia dan Benua Amerika. Namun, secara budaya kedua negara tersebut memiliki kedekatan tersendiri, khususnya kaitannya dengan budaya Jawa.
Seperti dikutip dari jurnal Peter Meel, peneliti Universitas Leiden Belanda, saat ini terdapat 72 ribu penduduk Suriname yang merupakan keturunan suku Jawa atau 15 persen dari total keseluruhan warga Suriname.
Kedekatan antara Indonesia dan Suriname tersebut bermula pada akhir abad ke-19 yang lalu atau sekitar tahun 1890-an. Belanda yang saat itu menguasai Indonesia mengirim buruh kontrak dari Jawa ke Suriname untuk menggarap perkebunan di sana.
Pekerja Jawa dikontrak selama lima tahun dengan gaji sebesar 60 sen untuk pekerja pria dan 40 sen untuk pekerja wanita. Setelah kontrak selesai, mereka dihadapkan oleh dua pilihan, yakni pergi kembali ke Indonesia atau menetap di Suriname dengan imbalan 100 gulden dan sepetak tanah.
Johannes Coenraad Kielstra, mantan wakil jaksa di Hindia Belanda yang menjadi gubernur Suriname tahun 1933-1944 membuat sebuah kebijakan yang tujuannya agar para pekerja kontrak tetap menetap di sana. Isi kebijakan tersebut adalah para pekerja tidak ditempatkan langsung di perkebunan, melainkan di sebuah pedesaan khusus. Mereka dibebaskan untuk membuat aturan sendiri dan melestarikan kebudayaan asli mereka.
Ketika Perang Dunia II meletus, terhitung jumlah orang Jawa yang ada di Suriname sekitar 30 ribu. Terhitung 7.684 orang kembali ke tanah Jawa pasca perang berakhir. Kabar bahwa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 ternyata terdengar hingga ke Suriname. Banyak dari orang Suriname suku Jawa yang ingin kembali ke Tanah Air.
Pada Mei 1951, sekitar 2.000 keluarga Jawa kembali ke tanah kelahirannya. Pemerintah Indonesia pun menerima kedatangan mereka, tetapi tidak untuk tinggal di Pulau Jawa yang dianggap sudah terlalu padat. Mereka diberi tanah seluas 2.500 hektar di daerah Tongar, sebelah utara Pasaman, Sumatera Barat. Mereka tiba di Tongar pada 1954 dengan Kapal Lengkoeas dan mendirikan pedesaan baru.
Sayangnya, harapan mereka untuk membangun kehidupan yang lebih baik di negerinya sendiri pupus. Tanah yang dibagikan oleh pemerintah Indonesia sulit untuk diolah dan kebanyakan dari penduduk mengalami permasalahan keuangan. Akhirnya mereka kembali ke Suriname dan menjadi warga negara Belanda.
Hanya hutan. Tak ada rumah, tak ada tempat buang hajat. Hanya barak besar yang disediakan. Setiap keluarga diberi jatah 4×4 meter. Tahun 1959, kami pindah ke Padang, sebab keadaan di sana tidak aman. Dan bulan Oktober 1964, kami memutuskan pulang kembali ke Suriname,” ujar Roemdjinah Wagina Soenawi, seperti dikutip Yvette Kopijn dan Harriette Mingoen dalam Stille Passanten: Levensverhalen van Javaans-Surinaamse Ouderen in Nederland.
Kini, orang-orang Jawa sudah mantap untuk menetap di Suriname. Meskipun demikian, mereka masih tetap teguh melestarikan budaya Jawa, bahkan tak jarang mengundang dalang maupun penyanyi campursari di negaranya.