ENSIPEDIA. ID, KENDAL – korupsi menjadi salah satu hal yang paling dibenci oleh masyarakat. Bagaimana tidak, tindakan korupsi seolah menciderai masyarakat yang telah mempercayai pemerintah dengan membayarkan pajak dan pembiayaan lainnya, tetapi malah disalahgunakan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Ada beberapa kasus korupsi di mana para koruptor memilih menghindari hukum dengan berbagai cara. Simak taktik kabur koruptor paling terkenal dalam sejarah Indonesia.
Taktik Menghilang
Menghilang setelah divonis menjadi tersangka kasus korupsi merupakan taktik paling umum yang dilakukan oleh koruptor Indonesia. Ada banyak sekali nama-nama petinggi yang pernah melakukan cara ini. Antara lain yaitu Edi Tansil, Sjamsul Nursalim, Sudijono Timan, Bambang Sutrisno, Andrian Kiki Anriawan dan Tommu Soeharto.
Yang pertama Edi Tansil, ia merupakan petinggi Bank Bapindo sekaligus dirut Golden Key Group (GKG). Lewat GKG, ia meminjam dana kepada Bapindo sebesar 565 juta dollar AS atau setara Rp1,5 triliun. Tentunya pengajuan peminjaman dana itu mudah dicairkan karena ia memegang peran penting di Bapindo.
Setelah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tersebut cair, dana itu malah masuk ke kantong pribadinya. Negara dirugikan hingga Rp1,5 triliun. Pada tahun 1996, ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara, denda Rp30 juta, uang pengganti Rp500 miliar dan mengganti kerugian negara sebanyak Rp1,3 triliun.
Belum genap 20 tahun ia menginap di Lembaga Permasyarakatan Cipinang, Edi melarikan diri pada 4 Mei 1996. Sejak saat itu, ia dinyatakan menghilang dan menjadi buron. Kabar terakhir menyatakan ia berada di Tiongkok pada 2013, tetapi hingga kini ia belum ditemukan. Negara masih mengalami kerugian triliunan rupiah.
Yang kedua, Sjamsul Nursalim. Ia adalah pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mendapat bantuan kredit dari pemerintah sebesar Rp3,7 triliun pada 1997. Namun, bantuan yang dikucurkan ternyata melebihi batas maksimum dan dana lainnya masuk ke kantong pribadi Sjamsul.
Kasus ini kemudian dipelajari oleh Kejagung, tetapi temuan mereka semakin membuat kasus ini bertambah berat. BDNI telah memiliki Surat Keterangan Lunas BLBI dari Ketua BPPN Syafuddin Tumenggung pada 2004. Padahal, utang yang dimiliki perusahaan Sjamsul belum lunas. Negara merugi sampai Rp6,9 triliun.
Panggilan penyidik tak pernah dipenuhi oleh Sjamsul dan istrinya, Itjih Nursalim. Kabar terakhir mengatakan mereka kabur ke Singapura dan menetap di sana.
Kemudian, Sudijiono Timan. Direktur utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) periode 1995-1997 ini membuat negara menderita kerugian mencapai Rp600 miliar. Ia menyalahgunakan wewenang dengan meminjamkan dana kepada Kredit Asia Finance Limited (KAFL) dan Festival Co.
Sudijiono divonis 15 tahun penjara dan denda Rp50 juta. Namun belum selesai kasusnya ditinjau, ia sudah kabur ke Singapura. Pada 2013, istrinya mengajukan Peninjauan Kembali kasus ke Mahkamah Agung dan disetujui. Hal ini membuat kegaduhan di para ahli hukum.
Lalu Bambang Sutrisno, di mana ia merupakan Wakil Presiden Komisaris Bank Surya. Setelah mendapat persetujuan pinjaman BLBI, Bank Surya disuntik dana sebesar Rp1,5 triliun. Alih-alih menyuburkan kembali banknya, ia malah membagi dana itu ke 103 perusahaan fiktif (paper company) miliknya yang membuat negara menderita kerugian.
Kejaksaan mendalami kasusnya dan menyatakan bahwa Bambang Sutrisno bersalah. Namun, Bambang tak pernah menghadiri panggilan penyidik hingga berkali-kali dan membuat tim penyidik bingung. Akhirnya, kejaksaan terpaksa menggelar sidang kasus Bambang tanpa kehadiran terdakwa. Hasilnya, ia divonis hukuman seumur hidup.
Selanjutnya ialah Andrian Kiki Anriawan. Bersama Bambang Sutrisno, ia adalah petinggi Bank Surya kala itu. Kucuran bantuan dari BLBI untuk Bank Surya malah disalahgunakan olehnya sehingga tim kejaksaan memanggilnya untuk diselidiki. Akan tetapi, ia tak pernah menghadiri panggilan tersebut.
Sama seperti rekannya, Andrian juga divonis hukuman seumur hidup. Akan tetapi, ia melarikan diri ke Singapura dan Australia setelah itu. Akhirnya, ia ditangkap di Perth pada 2008.
Terakhir, Tommy Soeharto. Kasus besar korupsi Tommy Soeharto sebagai putra bungsu Presiden Soeharto menjadi perhatian khusus masyarakat dan para ahlo hukum.
Berawal dari ruislag atau pemindahtanganan tanah gudang Bulog seluas 150 hektar yang dilakukan oleh Bulog dan PT. Goro Mandala Sakti milik Hutomo Mandala Putra. Pemindahtanganan ini telah disetujui oleh Presiden Soeharto, tetapi memuat banyak kejanggalan.
Dari hasil penyelidikan, negara mengalami kerugian sebesar Rp95 miliar. Hakim Agung Syafuddin Kartasasmita menjatuhkan vonis 18 bulan penjara dan denda Rp30 juta plus mengganti kerugian negara sebanyak Rp30, 6 miliar pada 22 September 2000.
Hasil sidang itu rupanya tak disenangi Tommy, ia lantas mengajukan grasi ke Presiden Abdurrahman Wahid. Grasi ditolak, lantas ia melarikan diri. Dalam masa pelariannya, Tommy memerintahkan pembunuh bayaran untuk membunuh hakim Syafuddin. Pada 26 Juli 2001, hakim Syafuddin ditemukan tak bernyawa. Setelah pelarian cukup lama, ia akhirnya berhasil di tangkap pada November 2001 di tempat persembunyiannya di Bintaro.
Taktik Sakit
Selain menghilang atau kabur, ada cara lain yang sering digunakan oleh koruptor untuk menghindari vonis hukum, yaitu dengan berpura-pura sakit. Tokoh-tokoh koruptor di antaranya yaitu Ginandjar Kartasasmita, Samadikun Hartono, dan Setya Novanto.
Ginandjar Kartasasmita, mantan menteri Pertambangan dan Energi masa orba ini menjadi tersangka kasus korupsi Bantuan Kontrak Teknis (BKT) antara Pertamina dan PT. Ustrindo Petro Gas.
Dana BKT dimaksudkan untuk merekayasa sumur-sumur minyak yang telah mati supaya bisa menghasilkan minyak lagi. Namun, ternyata sumur-sumur yang direkayasa merupakan sumur aktif. Ginandjar selaku sosok yang bertanggung jawab atas dana BKT ini akhirnya mendapat panggilan dari kejaksaan.
Alih-alih menerima, Ginandjar malah menolak untuk diperiksa dengan alasan sakit. Kejagung lantas mengirim tim pemeriksa kesehatan untuk memeriksa kondisi Ginandjar. Setelah dokter tiba, ia kabur lewat lift. Mobil yang membawanya kabur berkendara dengan kecepatan tinggi hingga menyerempet satpam di dekat pagar kejagung. Setelah proses yang panjang, ia akhirnya ditahan pada 6 Maret sampai 6 Mei 2001 di rumah tahanan kejaksaan. Negara dirugikan hingga 24,8 juta dollar AS.
Yang kedua yaitu Samadikun Hartono, di mana ia merupakan pemilik Bank Modern. Lagi-lagi, dana BLBI yang dikucurkan untuk menyehatkan banknya malah dikantongi untuk meraup keuntungan pribadi. Negara akhirnya mengalami kerugian sampai Rp169 miliar.
Setelah diproses, Samadikun dijatuhi hukuman 4 tahun penjara. Namun, ia berizin untuk berobat ke Jepang dan kejaksaan menyetujuinya. Ia pergi selama 2 minggu dan menjadikan istrinya sebagai jaminan. Setelah pergi, ia malah tak pernah kembali sampai 13 tahun. Ia akhirnya ditangkap di China saat menyaksikan balap F1 Shanghai pada 2016 silam.
Dan yang terakhir, Setya Novanto. Namanya sempat viral pada 2017 setelah mengalami kecelakaan mobil janggal saat hendak menuju KPK. Ketua DPR itu ditetapkan sebagai tersangka pada 10 November 2017 dalam kasus korupsi KTP Elektronik yang merugikan negara sampai Rp2,3 triliun.
Selain dua taktik itu, ada taktik lain yang digunakan koruptor kondang Indonesia, seperti kabur lalu berganti WN, kecelakaan, mengaku gila, sampai mengubah penampilan.