ENSIPEDIA.ID, KENDAL – Pada era Demokrasi Terpimpin diterapkan, ternyata Indonesia pernah mengalami guncangan ekonomi yang hebat, yaitu inflasi.
Pada awal kemerdekaan hingga era Demokrasi Terpimpin, kekuatan politik Indonesia berada di kelompok Nasionalis, Agama dan Komunis. Mereka saling bersaing hingga memaksakan pandangan mereka ke negara. Hal ini mengakibatkan ketidakstabilan politik di Indonesia.
Ketika kondisi politik mulai tidak stabil dan muncul gerakan-gerakan pemberontakan di berbagai wilayah, para investor mulai ragu untuk berinvestasi di Indonesia.
Sementara itu, pemerintah juga berambisi untuk mencuri perhatian dunia. Soekarno yang kala itu menjadi pemimpin utama, menggalakkan ‘politik mercusuar’.
Pembangunan besar-besaran dilakukan, dimulai dengan dibangunnya Monumen Nasional (Monas) dan diselenggarakannya Asian Games 1962 menjadi titik awal Indonesia memperlihatkan kemampuannya. Namun tak berhenti di situ, Soekarno juga membangun Istana Tampaksiring di Bali, mengadakan Ganefo, merencanakan Conefo dan semangatnya dalam mengganyang Malaysia.
Politik mercusuar memang membutakan Soekarno. Fasilitas-fasilitas tersebut memang bagus, tapi tidak jika dibangun bersamaan dengan penderitaan rakyat di awal kemerdekaan. Seharusnya, pemerintah memprioritaskan kesejahteraan rakyat terlebih dahulu, seperti memperbanyak cadangan pangan untuk beberapa tahun ke depan.
Utang makin melonjak tinggi bersamaan dengan megahnya Indonesia kala itu. Bagaimana tidak, anggaran negara yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur itu sangat besar, sehingga Indonesia mempunyai utang luar negeri sebesar 2,4 miliar dolar.
Pada tahun 1960, ekonomi di Indonesia mulai jatuh. Ditandai dengan inflasi di atas 100% karena pemerintah terus-menerus mencetak uang guna membiayai utang dan mendanai proyek-proyek megah.
Dari tahun ke tahun, inflasi di Indonesia semakin melonjak. Puncaknya terjadi pada tahun 1965, di mana saat itu Indonesia keluar dari keanggotaan PBB karena bergabungnya Malaysia ke PBB.
Di tahun 1965 saja, defisit APBN sudah mencapai Rp1,32 triliun, naik 4x lipat dari tahun sebelumnya. Penerimaan negara kala itu hanya sebesar Rp923,444 miliar, tapi pengeluaran mencapai Rp2,244 triliun.
Pemerintah melakukan upaya untuk menutup defisit tersebut, yakni dengan mencetak uang. Hal tersebut justru makin memperparah ekonomi dengan melonjak tajamnya uang yang beredar hingga Rp2,713 triliun. Bahkan di triwulan I 1966, uang beredar sudah mencapai Rp5,317 triliun!
Langkah itu membuat Indonesia mengalami hiperinflasi, yaitu inflasi besar-besaran yang tidak terkendali. Bahkan, inflasi di Indonesia pada 1965 menembus angka 600%.
Dalam upayanya menstabilkan kembali perekonomian negara, pemerintah mengambil beberapa kebijakan di antaranya Devaluasi, Redenominasi, Membekukan Giro dan Deposito serta Senering.
Di langkah Devaluasi, pemerintah menurunkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari nilai Rp11,4/US$ menjadi Rp45/US$. Langkah ini dimulai sejak 12 Agustus 1959.
Di langkah Redenominasi, pemerintah melakukan penyederhanaan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi nilainya. Pada 13 Desember 1965, pemerintah menerbitkan desain uang baru yaitu pecahan Rp1 yang setara dengan nilai Rp1.000 lama.
Pada langkah selanjutnya, yaitu pembekuan giro dan deposito, pemerintah membekukan sebanyak 90% giro dan deposito di atas Rp25 ribu.
Lalu, pada kebijakan Senering atau pemotongan nilai mata uang, pemerintah menurunkan nilai uang kertas dari Rp500 jadi Rp50, dan yang awalnya Rp1000 jadi Rp100.
Kebijakan lainnya yaitu dengan menekankan penghematan belanja negara sehingga pengeluaran negara diharapkan tak lebih banyak dari pendapatannya sehingga mengurangi nilai defisit.