ENSIPEDIA.ID – Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) telah disahkan oleh anggota DPR RI dalam sidang paripurna pada Selasa, 6 Oktober 2022 lalu. Di kompleks Senayan tersebut, sebuah kitab hukum pidana lahir dari buah pikir anak bangsa Indonesia.
Seperti yang kita ketahui bahwa KUHP yang lama merupakan kitab hukum pidana warisan kolonialisme yang telah berusia lebih dari 100 tahun. Awal mula perancangan RKUHP bahkan dimulai sejak era Soekarno.
Namun demikian, gelombang-gelombang penolakan tentunya tak terhindarkan dari RKUHP yang dirancang tersebut. Polemik RKUHP telah bergulir sejak beberapa tahun silam. Puncaknya, demo besar-besaran dilakukan oleh mahasiswa pada tanggal 21 Juni 2019 silam.
Setelah 4 tahun berlalu, Kementrian Hukum dan HAM gencar melakukan audiensi dan dengar pendapat ke seluruh Indonesia untuk melakukan perbaikan terhadap RKUHP. Hingga pada sidang paripurna kemarin, angota DPR RI yang terhormat mengetuk palu yang menandakan RKUHP siap diteken oleh presiden untuk diundangkan.
Penolakan RKUHP dari Dalam Negeri
Penolakan RKUHP masih gencar dilakukan oleh berbagai pihak. Beberapa kalangan dari jurnalis, lembaga bantuan hukum, mahasiswa, pegiat lingkungan, aktivis perempuan, aktivis HAM, masih menyuarakan protes terhadap RUU tersebut.
Permasalahan kebebasan pendapat dan hak asasi manusia masih menjadi topik yang dikritik oleh masyarakat. Banyak pasal yang bisa disalahgunakan dan dapat mengancam demokrasi di Indonesia.
Tak sedikit pasal yang bisa digunakan penguasa sebagai senjata baru dalam mengkriminalisasi rakyat.
Kritikan Dunia terhadap RKUHP yang Disahkan
Gelombang penolakan tak hanya bergaung dari dalam negeri. Media asing pun banyak yang menyoroti pengesahan RKUHP tersebut.
Salah satu poin yang disorot oleh media asing terkait dengan ikut campurnya pemerintah dalam ranah privat.
Sepeti yang diungkapkan oleh media kenamaan Australia, Broadcasting Service yang menyatakan bahwa aturan tersebut bisa mempengaruhi turis dari Australia.
“Selain larangan seks di luar nikah, hukum baru juga akan melarang hidup bersama antara pasangan yang belum menikah,” ungkap media tersebut.
Begitupula yang diungkapkan oleh Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS yang khawatir akan iklim investasi di Indonesia terkait pengekangan kebebasan individu.
“Kami juga prihatin tentang bagaimana undang-undang tersebut dapat berdampak pada warga AS yang berkunjung dan tinggal di Indonesia, serta iklim investasi bagi perusahaan AS,” komentar Net Price, Jubir Departemen Luar Negeri AS.
Pasal-Pasal RKUHP yang Masih Kontroversi
Pengesahan yang terlalu terburu-buru menjadi alasan penolakan RKUHP. Masih banyak pasal yang perlu dicermati ulang. Menurut para pakar dan ahli, berikut pasal-pasal yang dinilai masih bermasalah.
Pasal RKUHP yang Membungkam Kritik
Menurut pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, masih banyak pasal yang mengekang kebebasan berpendapat. Pasal-pasal tersebut juga bisa digunakan oleh pejabat sebagai alat kriminalisasi.
Adapun pasal tersebut di antaranya: Pasal 218 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden, pasal 240 tentang Penghinaan terhadap Pemerintah dan Lembaga Negara, pasal 236 tentang Penghinaan terhadap Lambang Negara, serta pasal 188 tentang Penyebaran dan Pengembangan Ajaran atau Paham yang Bertentangan dengan Pancasila– termasuk ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Pasal RKUHP yang Mencampuri Urusan
Di dalam RKUHP, banyak aktivis yang mengkritik terkait masuknya pemerintah di ranah privasi masyarakat. Pasal-pasal tersebut sebenarnya perluasan pasal perzinahan yang semakin diketatkan.
Adapun pasal-pasal tersebut diantaranya: Pasal 411 tentang seks di luar nikah dengan hukuman 1 tahun penjara, serta pasal 412 tentang larangan hidup bersama pasangan di luar nikah.
Pasal RKUHP yang Memajukan Korporasi dan Mimpi Buruk bagi Aktivis
Bagi korporasi, RKUHP menjadi angin segar. Pasalnya, RKUHP tidak membuat efek jera bagi para pelaku pidana lingkungan. Misalnya pada pasal 46 dan 48 yang hanya menjerat pelaku korporasi saja, seperti manajer lapangan dan tidak menjangkau aktor intelektualnya.
Lalu ada pasal 256 yang menjadi mimpi buruk bagi para aktivis dan pendemo. Bagi pendemo yang berunjuk rasa tanpa izin akan diancam pidana.