ENSIPEDIA.ID, Jakarta – Tampaknya pada awal pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di DKI Jakarta dan disusul oleh wilayah lainnya tidak berjalan semulus dengan apa yang kita harapkan. PSBB yang bertujuan untuk meminimalisasi aktivitas sosial manusia seminim-minimnya ternyata tidak begitu efektif dan efisien dalam mengurangi angka kasus positif Covid-19 dikarenakan banyak faktor—meliputi tidak tegasnya petugas dalam menindak pelanggaran, sikap apatis masyarakat, dan bahkan keterpaksaan ekonomi yang menuntut orang-orang agar tetap menyambung hidupnya dengan berniaga di pasar di tengah hingar-bingarnya PSBB itu sendiri.
Dikutip dari akun Instagram resmi Jokowi, “Pandemi ini telah menguras begitu dalam waktu dan tenaga para dokter, perawat, paramedis, juga petugas kesehatan lainnya. Saya tahu mereka letih. Oleh karena itu, mari kita bantu melindungi dan menjaga mereka, dengan mengurangi mobilitas dalam dua minggu ini, mulai tanggal 11 Januari,” tulisnya.
Pernyataan tersebut ternyata bukan hanya sebatas langkah persuasif beliau dalam menyuarakan penekanan kedisiplinan dan saling bekerjasama untuk memotong rantai penyebaran kasus positif Covid-19.
Setelah mangkraknya PSBB transisi di wilayah DKI Jakarta, muncullah suatu istilah baru yang pada esensinya sama halnya dengan PSBB, yakni PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang diterapkan pada pertengahan bulan Januari di Jawa dan Bali.
Dikutip dari unggahan akun Sekretariat Presiden di Youtube, “Saya ingin menyampaikan mengenai yang berkaitan dengan PPKM, tanggal 11-25 Januari, kita harus ngomong apa adanya, ini tidak efektif,” ujar Jokowi.
Pengakuan dari Bapak Presiden Jokowi tersebut tentunya menuai banyak tanggapan dari masyarakat. Jokowi juga mengatakan bahwa esensi dari PPKM adalah untuk mencegah serta mengurangi mobiltas masyarakat agar dapat menekan arus angka penularan Covid-19. Namun, sayang seribu sayang, pada implementasinya ternyata kebijakan ini tidak berbeda jauh dengan kebijakan sebelumnya, yakni PSBB yang rancu dan tidak menemukan titik terang.
Berangkat dari ketidakberhasilan kebijakan tersebut, akhirnya Jokowi pun menerima komentar-komentar yang berorientasi pada cibiran dibandingkan pujian. Dapat dimaklumi dan tidak perlu heran tatkala hal tersebut menimpa beliau, karena pada dasarnya percuma apabila membuat kebijakan baru dengan nama yang berbeda tetapi pada hakikatnya sama. Ditambah, pada praktiknya pun tidak jauh berbeda—sama-sama sibuk meneriakkan ajakan untuk mematuhi kebijakan daripada turun ke lapangan untuk mengawasi dan menindaklanjuti orang-orang yang melakukan pelanggaran.
Sebetulnya, PSBB dan PPKM adalah suatu kebijakan yang hampir tidak jauh berbeda, namun seringkali masyarakat dibingungkan akan keberadaannya. Maksudnya, seberapa banyak pun pembuatan kebijakan baru yang pada dasarnya sama—sama-sama untuk menekan laju penyebaran Covid-19 tetapi pada pengimplementasiannya tidak berjalan baik dan lancar, maka akan nihil hasilnya. Efektivitas dan efisiensi suatu kebijakan pun harus dipertimbangkan dan ditinjau secara komprehensif untuk melihat seberapa kuatnya efek yang akan ditimbulkan di masyarakat.
Masyarakat pun akan tetap melakukan hal yang sama—nongkrong di pinggir jalan sambil ngitung kendaraan yang lewat, ngopi-ngopi di kafe di atas jam 9 malam meskipun sudah disuruh orang tuanya masing-masing agar pulang, bahkan acapkali lalu lintas yang padat dan macet disebabkan oleh ibu-ibu yang masih mainin hp-nya walaupun lampu merah sudah berubah menjadi hijau. Nah, dari situ, kita dapat menilai bahwasanya penegakkan suatu kebijakan harus dibarengi dengan praktik di lapangan. Percuma juga’kan kita di sekolah hanya mempelajari teorinya saja tanpa dipraktikkan apa itu teori yang baru kita pelajari barusan. Begitupun dengan pembuatan kebijakan, rasa-rasanya sumpek apabila merapatkan lalu menerapkan kebijakan tersebut hanya dengan menggembor-gemborkannya lewat baliho atau spanduk di pinggiran jalan tanpa adanya penugasan pihak berwajib di lapangan. Niat hati ingin mengajak, tapi ternyata malah ngelunjak.
Simpulan yang bisa didapatkan dari fenomena aneka ragam nama kebijakan ini tentunya membuat sebagian masyarakat geram. Bagaimana tidak, bukannya memperbaiki kebijakan sebelumnya agar lebih ditingkatkan penegakkannya tetapi malah membuat kebijakan baru yang berujung sama pada kegagalan sebelumnya. Entahlah apa yang sedang dipikirkan orang-orang sana, yang pasti kita harus tetap menjaga kewarasan dan menjalankan protokol kesehatan.