Mulai Banyak Ditolak hingga Beresiko Mangkrak, Ini Beberapa Isu Terkait Ibu Kota Nusantara

ENSIPEDIA.ID, Kendal – Presiden Jokowi telah menyetujui adanya usulan dan rancangan ibu kota yang dipindah ke luar Jawa sejak 2019 lalu. Kabupaten Penajam Paser Utara terpilih menjadi letak di mana ibu kota baru negara Indonesia akan dibangun. Sedangkan nama yang disetujui oleh Presiden Jokowi adalah Nusantara.

Namun, tak sedikit kendala yang menghalangi pemindahan ibu kota ini, di antaranya dari segi ekonomi, hingga sosial. Apa saja isunya?

Segi Ekonomi; Ibu Kota Baru Bisa Mangkrak dan Jadi Proyek Terbesar yang Terbengkalai Sepanjang Sejarah

Peta rancangan ibu kota negara baru

RUU ibu kota negara telah disahkan menjadi UU di rapat paripurna oleh DPR RI, Selasa kemarin. Atas dasar itu, pembangunan ibu kota baru di Kabupaten Penajam Paser Utara sudah mulai bisa dilakukan.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani menuturkan proyek IKN masuk dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2022 dan bisa menggunakan dana PEN tersebut.

“Jadi ini akan kami desain baik untuk 2022, seperti diketahui 2022 paket pemulihan ekonomi Rp450 triliun masih belum dirinci seluruhnya. Jadi ini nanti mungkin bisa dimasukkan dalam bagian program PEN,” ucap Sri Mulyani.

Hanya saja, dari besarnya dana tersebut, yang digunakan untuk pembangunan IKN belum disebutkan secara rinci. Selain PEN, pemerintah akan mengalokasikan Rp510 miliar dari APBN 2022 untuk pembangunan IKN.

Secara keseluruhan, pembangunan IKN membutuhkan dana sebesar Rp466 – Rp486 triliun.

Mengutip ikn.go.id, pemerintah akan menggunakan 19 persen dana APBN untuk pembangunan ibu kota baru dari total dana yang dibutuhkan. Berarti, ada sekitar Rp80 triliun dana APBN yang akan dikucurkan.

Dikutip dari CNN Indonesia, pemerintah mengandalkan swasta lewat kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) sebesar Rp252,5 triliun atau 54,2 persen. Lalu, investasi swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebesar Rp123,2 triliun atau 26,4 persen.

Proyek pembangunan IKN ini termasuk proyek yang besar dan jangka panjang yang dimulai dari tahun ini hingga 2045 mendatang.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda beropini bahwa rancangan soal IKN terlalu cepat. Pembiayaan untuk ibu kota baru belum pasti wujudnya dan pemerintah hanya punya waktu 3 tahun untuk mewujudkan target tersebut.

Memang benar, pemerintah sudah mempunyai gambaran mengenai besaran biaya yang akan dikeluarkan oleh negara dan swasta. Namun, belum jelas siapa saja pihak swasta yang akan berinvestasi di proyek IKN tersebut.

“Saya rasa porsi APBN untuk IKN masih bisa berubah atau naik dari 19 persen. Hal ini sangat bergantung dengan investasi swasta yang masuk ke IKN,” ucap Nailul.

Jika pihak swasta yang berinvestasi tidak sesuai dengan target pemerintah, maka porsi APBN yang digunakan untuk membiayai IKN akan semakin membesar dan akan berpengaruh pada ekonomi negara.

Selain itu, Indonesia juga sedang melawan covid-19 dan tentunya membutuhkan biaya penanganan yang besar. Karena pemerintah harus secara intensif membagikan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat. Oleh karenanya, jika pemerintah tak bisa menentukan mana yang jadi prioritas, kantong negara akan menyempit.

Segi Sosial; Survei terhadap Masyarakat tentang Pemindahan Ibu Kota Negara

Berdasarkan survei, 61,9% masyarakat tidak setuju jika ibu kota Jakarta dipindahkan

Survei yang dilakukan oleh lembaga survei Kedai Kopi menunjukkan hasil terbaru mengenai respon masyarakat terhadap pemindahan ibu kota negara.

Ternyata, hasil survei menunjukkan 61,9% masyarakat tidak setuju dengan pemindahan ibu kota negara. Mayoritas dari mereka beralasan karena keuangan negara belum mumpuni untuk melakukan pemindahan yang tentunya membutuhkan dana yang besar.

“Yang tidak setuju ini beralasan bawa pemindahan ibu kota ini menjadi pemborosan anggaran. Jadi, hal ini bisa merusak sentimen publik terjadap pemerintah kalau dipaksakan,” ungkap Direktur Eksekutif Lembaga Survei Kedai Kopi, Kunto Adi Wibowo.

Lagi-lagi, masyarakat khawatir pemerintah tidak bisa mengendalikan keuangan negara di masa pandemi. Sebab, anggaran dana yang dimiliki negara sudah seharusnya diprioritaskan untuk penanganan covid-19 terlebih dahulu.

“Jadi, menurut saya, ini adalah bentuk ketidaksensitifan pemerintah terhadap krisis yang sudah diarasakan oleh warga terutama krisis terkait pandemi Covid-19,” tuturnya.

Hilmi Harsaputra
Menyukai bidang sosial-hukum, sosial-budaya, geografi, dan astronomi.

Latest articles