ENSIPEDIA.ID, KENDAL – Kelangkaan minyak goreng yang sempat terjadi beberapa bulan lalu perlahan-lahan menemui jalan keluar dan tokoh dibaliknya.
Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen Daglu Kemendag) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak goreng. Ia merupakan pria berinisial IWW bersama 3 orang lain dari pihak swasta.
Jaksa Agung ST Burhanuddin menjelaskan langsung nama-nama para tersangka itu. Ia juga menyebut negara mengalami kerugian ekonomi yang besar.
“Perbuatan para tersangka tersebut mengakibatkan timbulnya kerugian perekonomian negara atau mengakibatkan kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng dan menyulitkan kehidupan rakyat,” kata Burhanuddin di kantornya, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Selasa (19/4/2022).
Selain IWW, 3 orang dari pihak swasta yaitu:
– MPT selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia
– SMA selaku Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup (PHG)
– PT selaku General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas
Dalam keterangan pers, Burhan menyebutkan nama lengkap para tersangka, yaitu Indrasari Wisnu Wardhana (IWW), Master Parulian Tumanggor (MPT) selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Stanley MA (SMA) selaku Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup (PHG), dan Picare Togare Sitanggang (PT) selaku General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas.
Dilansir dari detik.com, menurut Burhanuddin, awalnya pada akhir 2021 terjadi kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di pasar yang membuat pemerintah melalui Kemendag mengambil kebijakan untuk menetapkan DMO atau domestic market obligation dan DPO atau domestic price obligation bagi perusahaan yang ingin melaksanakan ekspor CPO dan produk turunannya. Selain itu, Kemendag menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sawit.
“Dalam pelaksanaannya perusahaan ekportir tidak memenuhi DPO namun tetap mendapatkan persetujuan ekspor dari pemerintah,” salin Burhanuddin.
Burhanuddin menuturkan mereka melakukan pelanggaran hukum, di antaranya:
1. Adanya permufakatan antara pemohon dan pemberi izin dalam proses penerbitan persetujuan ekspor;
2. Dikeluarkannya persetujuan ekspor kepada eksportir yang seharusnya ditolak izinnya karena tidak memenuhi syarat yaitu:
a. Mendistribusikan CPO atau RBD Palm Olein tidak sesuai dengan harga penjualan dalam negeri (DPO);
b. Tidak mendistribusikan CPO dan RBD Palm Olein ke dalam negeri sebagaimana kewajiban yang ada dalam DMO (20% dari total ekspor).
Para tersangka diduga melanggar Pasal 54 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, b, e, dan f Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.