Keluarga Miskin di Indonesia Lebih Banyak Konsumsi Rokok dibanding Protein

ENSIPEDIA.ID – Sebagai negara dengan pasar rokok terbesar ketiga di dunia, Indonesia masih sulit terlepas dari belenggu asap tembakau. Konsumsi rokok di Indonesia tidak main-main. Pada tahun 2020, konsumsi rokok Indonesia mencapai 322 miliar batang.

Konsumsi rokok tak hanya dilakukan oleh golongan menengah ke atas, melainkan juga menyentuh golongan menengah ke bawah. Prevelansi merokok lebih banyak dikonsumsi oleh kelompok masyarakat yang berpendidikan rendah, berpendapatan rendah, dan tinggal dipedesaan.

Rokok bagi keluarga miskin memang menjadi salah satu permasalahan sosial yang sedang dipecahkan solusinya. Setiap harinya, konsumsi rata-rata rokok yang dilakukan oleh orang dengan ekonomi rentan sebanyak 8,6 batang per hari, lebih tinggi daripada konsumsi protein. Selain berdampak pada kesehatan perokok, hal tersebut juga berdampak pada kondisi perekonomian keluarga perokok.

Menteri Keuangan Sri Mulyani membeberkan bahwa konsumsi rokok di keluarga miskin menjadi pos pengeluaran terbesar kedua setelah beras.

“Konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin, yaitu mencapai 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan,” ucapnya saat mengumumkan rencana kenaikan bea cuka rokok.

Perokok di rumah tangga miskin lebih memilih membeli dan mengonsumsi rokok dibandingkan membeli dan mengonsumsi tahu, tempe, telur, ikan, dan protein lainnya.

Survei Rokok dan Keluarga Miskin

IDEAS melakukan survei pada tahun 2021 tentang konsumsi rokok di keluarga miskin. Survei tersebut melibatkan 1.013 responden kepala keluarga miskin di berbagai kota besar di Indonesia. Hasilnya, rokok di keluarga miskin dijadikan sebagai “kebutuhan dasar”. Hampir menggantikan kehadiran makanan pokok, bahkan telah menandingi kebutuhan akan protein.

Rokok telah dijadikan sebagai hal yang prioritas dan signifikan. Setiap bulannya, keluarga miskin mengeluarkan rata-rata uang sebesar Rp400 ribu per bulan untuk belanja rokok. Jumlah ini senilai dengan sepertiga pengeluaran untuk makan dan di atas pengeluaran biaya pendidikan anak.

Perbedaan utama pengeluaran antara keluarga miskin dan nonmiskin perokok adalah skala prioritas kebutuhannya. Persentase biaya rokok di keluarga miskin cenderung lebih tinggi dari persentase biaya rokok di keluarga nonmiskin.

Konsumsi rokok yang besar tak terlepas dari pengaruh kepala keluarga. Perokok dengan konsumsi tertinggi di sebuah keluarga masih didominasi oleh ayah atau kepala keluarga kemudian disusul oleh anak laki-laki. Sebanyak 73,2 persen kepala keluarga tetap mempertahankan biaya konsumsi rokok, walaupun ekonomi sedang menurun. Dengan keputusan ini, kepala keluarga lebih mengutamakan mengurangi pos biaya kebutuhan lain dibandingkan mengurangi biaya konsumsi rokok.

Hal yang menjadi ironi adalah sebesar 17,9 persen kepala keluarga dengan status prokok tidak bekerja atau pengangguran. Walaupun mereka tidak berpenghasilan, konsumsi rokok tetap terus berjalan, bahkan tetap menjadi kebutuhan dasar. Hal ini yang menjebak keluarga miskin dengan konsumsi rokok tetap berada dalam pusaran kemiskinan.

Latest articles