Hilirisasi industri di Indonesia memiliki permasalahan dalam perkembangan dan implementasi pada sektor tertentu. Hal tersebut dikarenakan hilirisasi industri merupakan strategi untuk meningkatkan nilai tambah komoditas yang dimiliki oleh suatu negara. Dengan hilirisasi komoditas ekspor tidak lagi berwujud bahan baku mentah tetapi sudah menjadi barang setengah jadi ataupun menjadi barang jadi. Indonesia sendiri sudah memulai hilirisasi industri sejak tahun 2010 saat Indonesia dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di mana tujuan hilirisasi industri ini bertujuan untuk memberi nilai lebih pada komoditas ekspor Indonesia sehingga Indonesia bisa mendapatkan profit yang lebih banyak lagi dan hilirisasi ini memiliki dampak yang sangat besar bagi negara Indonesia di mana Indonesia bukan hanya menjadi penyedia barang mentah dan juga konsumen tapi juga menjadi produsen. Sehingga, Indonesia bisa membuka lapangan pekerjaan yang luas dan pemasukan pajak yang di dapat negara dengan adanya hilirisasi industri, di mana Indonesia bisa mengalami kemajuan di beberapa sektor. Selain di bidang ekonomi, di bidang infrastruktur di mana Indonesia banyak membangun prasarana untuk mendukung hilirisasi industri sehingga indonesia berpeluang besar mendapatkan investasi dari berbagai pihak yang semakin besar Indonesia maju.
Dalam segmen industri komoditas kakao, Indonesia memiliki tren penurunan yang signifikan pada produksi kakao di Indonesia. Hal tersebut seharusnya dapat menjadi kesempatan Indonesia mengembangkan industri kakao yang telah dinilai “mati suri” oleh masyarakat. Salah satu cara pengembangan industri kakao dengan value added dapat diimplementasikan dengan produksi cokelat. Namun hal tersebut masih menjadi pertimbangan apakah Indonesia mendapatkan keunggulan kompetitif dari komoditas coklat? Tentu pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan melihat dan menganalisis perilaku produsen dari komoditas kakao di Indonesia.
Dalam segmen industri Crude Palm Oil (CPO), Indonesia memiliki keunggulan kompetitif yang signifikan. Hal tersebut diwujudkan dengan melihat Indonesia sebagai salah satu produsen CPO terbesar di dunia. Namun, Indonesia masih dominan dalam melakukan kegiatan ekspor CPO mentah terutama ke negara-negara di Eropa. Evidensi tersebut seharusnya dapat menjadi perhatian pada perusahaan penghasil CPO untuk memberikan dampak yang signifikan terhadap value added yang dihasilkan oleh industri CPO.
Dalam komoditas nikel, Indonesia mengalami keunggulan kompetitif dari belahan dunia khususnya Eropa di mana Indonesia digugat oleh mereka di organisasi dagang dunia yaitu WTO (World Trade Organization) di mana mereka memaksa Indonesia untuk tetap mengekspor nikel mentah. Hal ini dilatarbelakangi oleh negara uni eropa yang tidak setuju akan kebijakan negara kita untuk melarang ekspor bijih nikel mentah kita kepada mereka dikarenakan isu krisis energi yang terjadi di beberapa negara eropa akibat perang Rusia dan Ukraina yang memaksa untuk mengirim bijih nikel mentah kita dan membeli produk jadinya dari kedua negara tersebut.
Padahal menurut data BPS nilai ekspor bijih nikel mentah Indonesia sepanjang Bulan Januari-Juli 2022 mencapai US$2,97 Miliar atau setara Rp44,5 Triliun (kurs RP.15.000 per dolar AS). Indonesia diperkirakan akan mendapatkan “durian runtuh” atau pendapatan negara akan bertambah menjadi US$27 MIliar-US$30 Miliar atau Rp418 Triliun-Rp465 Triliun. Belum lagi dengan berkembangnya industri kendaraan listrik yang membutuhkan batu battery sehingga otomatis membutuhkan nikel sebagai bahan baku dasar membuat batre. Seperti yang dilansir dari halaman Kementerian Investasi/BKPM bahwa nikel Indonesia sangat berpotensi besar dalam industri di masa yang akan mengingat bahwa sekarang sedang berkembangnya industri kendaraan bertenaga listrik, sehingga berpotensi untuk industri nikel kita untuk terus berkembang sehingga akan memperkuat ekonomi kita dan menjadikan negara kita menjadi sejahtera.
Dalam segmen penelitian sebelumnya oleh Sebastian Hadinata dan Maria Merry Marianti dalam “Analisis Dampak Hilirisasi Industri Kakao di Indonesia”, untuk komoditas kakao memiliki keunggulan kompetitif khususnya dalam proses peningkatan value dari produk kakao yaitu cokelat. Lalu, mengapa komoditas kakao menjadi pilihan dalam analisis? Karena komoditas kakao sedang dalam fase pengembangan Kembali setelah “mati suri” apabila diperhatikan dalam segmen pertumbuhan produksi dari kakao. Namun, dalam penelitian tersebut tidak menjelaskan tentang simplifikasi dan produk apa yang dikembangkan berdasarkan perusahaan yang memproduksinya. Hal tersebut diaplikasikan peneliti berfokus pada manajemen strategi dan value chain dari komoditas kakao. Sehingga, perusahaan yang sedang memproduksi komoditas coklat kurang teridentifikasi.
Dalam segmen penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan Crude Palm Oil (CPO) yang diteliti oleh Matupalesa et. al tentang “Hilirisasi Industri Sawit di Indonesia” telah menjelaskan keunggulan kompetitif terkait CPO dengan menjelaskan value added yang dikembangkan pada masing-masing perusahaan seperti PT. Bakrie Sampoerna, PT. Multimas Abadi Asahan, dan PT. Musim Mas. Namun, dalam segmentasi perkembangan keunggulan komparatif suatu komoditas yang telah menjadi value added tidak dijelaskan lebih lanjut. Maka, transformasi tersebut harus diikuti dengan keadaan yang sebenarnya terjadi. Pada segmen komoditas nikel, Indonesia telah berhasil meningkatkan nilai atau value added khususnya untuk ekspor biji nikel. Dalam produksi yang dilakukan, tentu harus memiliki salah satu keunggulan yang mengikat dari biodiesel. Hal tersebut dapat menjadi acuan secara kompetitif dari komoditas yang telah menjadi katalisator utama ekspor komoditas pertambangan.
Hal ini merupakan momentum Indonesia untuk menyalip di tikungan terakhir pada konflik di dunia ini untuk menjadikan Indonesia sebagai negara super power. Ini membuktikan bahwa Indonesia sudah siap berdaulat ditanah sendiri dan sekaligus membuktikan bahwa dunia yang membutuhkan kita bukan kita yang membutuhkan dunia. Peran kita disini adalah untuk berjuang sampai titik darah penghabisan seperti yang dikatakan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyebutkan “kita akan perjuangkan kedaulatan kita sampai titik darah penghabisan”.
Pembahasan Hilirisasi Industri
Hilirisasi industri merupakan suatu metode yang diinduksikan untuk meningkatkan value atau nilai yang dapat dibayarkan oleh konsumen kepada produsen. Maka, hilirisasi industri dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku industri dalam melakukan produksi barang mentah menjadi barang yang sudah jadi. Sehingga, produk tersebut siap dipakai untuk berbagai macam kebutuhan konsumen dengan value yang lebih baik. Sebagai salah satu interpretator yang dapat menjelaskan perkembangan tersebut adalah perkembangan produksi dan ekspor yang telah diimplementasikan oleh suatu perusahan dalam waktu tertentu. Tentu dengan pertimbangan strategi keunggulan kompetitif dan Porter Value Chain.
Hilirisasi Industri Pada Komoditas Kakao
Komoditas kakao memiliki perkembangan yang cukup signifikan, hal tersebut diinterpretasikan pada kegiatan hilirisasi industri yang telah dimulai pada tahun 2010 untuk melakukan produksi kakao dibandingkan dengan memproduksi biji kakao. Hal tersebut dilakukan karena ekspor biji kakao dinilai memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan melakukan produksi kakao secara olahan. Sehingga pada segmentasi industri kakao, perkembangan ekspor biji kakao memiliki pengaruh yang signifikan dari produksi dan profitabilitas dari beberapa industri kakao di Indonesia. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu produsen kakao yang memiliki jangkauan pasar yang prospektif. Hal tersebut dikorelasikan pada pasar di Benua Eropa memiliki persentase 42% dari jumlah total market yang tersebar di seluruh dunia.
Gambar 1. Produksi dan Ekspor Biji Kakao
Berdasarkan gambar di atas, dapat diinterpretasikan tren dari ekspor biji kakao cenderung menurun. Tentu hal tersebut dapat menjadi langkah positif untuk memulai produksi barang yang telah jadi olahan atau barang setengah jadi pada komoditas kakao di Indonesia untuk berkembang lebih baik lagi. Berdasarkan analisis manajemen strategi, industri kakao memiliki produk value added berupa cokelat.
Hilirisasi Pada Komoditas CPO
Pada komoditas Crude Palm Oil atau CPO memiliki beberapa komponen yang dapat menjadi acuan utama dalam melakukan perubahan pada produksi CPO yang lebih sustainable dengan memanfaatkan produk turunan dari biodiesel. Salah satu produk turunan yang memiliki pengaruh signifikan dengan mempertimbangkan produksi CPO di Indonesia, dapat dilakukan strategi dengan produk turunan seperti biofuel. Hal tersebut diwujudkan dengan biodiesel, biogas, biopremium, dan bioavtur. Sebagai salah satu pelengkap dalam segmentasi bahan bakar sehingga dapat menjadi alternatif produksi yang lebih relevan dan menguntungkan. Selain pada aspek profitabilitas, dalam segmen lingkungan, perkembangan tersebut memiliki pengaruh yang signifikan. Dengan adanya hilirisasi industri pada komoditas bahan bakar, maka dapat menjadi keuntungan dalam segmen ekonomi dan lingkungan.
Gambar 2. Keunggulan Komparatif CPO Indonesia
Keunggulan komparatif pada biodiesel dapat menjadi suatu alternatif dan interpretator utama dalam menjelaskan perubahan komoditas yang diekspor. Berdasarkan data biodiesel yang diekspor telah teridentifikasi memiliki peningkatan. Artinya, Indonesia memiliki peluang dalam melakukan produksi dari produk turunan CPO yaitu biodiesel. Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Matupalesa et. al tentang “Hilirisasi Industri Sawit di Sumatera Utara”, beberapa perusahaan sawit, telah melakukan produksi barang turunan dan sudah beralih dari produksi barang mentah yang dijual. Dengan metode hub and spoke, dapat disimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan sawit di Sumatera Utara sebagai produsen sawit terbesar.
Hilirisasi Pada Komoditas Nikel
Ekspor komoditas nikel memiliki pertumbuhan yang cukup signifikan. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya produksi nikel dalam negeri. Hal tersebut menjadi salah satu prestasi besar bagi Indonesia yang telah mengklaim keberhasilan dalam gerakan hilirisasi industri dalam basis komoditas nikel. Sebelumnya, Indonesia telah sukses melakukan kegiatan ekspor nikel dan meraih keuntungan sebesar US$ 33 miliar atau Rp 514 triliun rupiah. Keadaan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai kesuksesan tersendiri dari produksi nikel di Indonesia. Implementasi dari ekspor tersebut tidak lepas dari value added yang dihasilkan oleh nikel yaitu untuk produksi baterai. Hal tersebut menjadi salah satu tolak ukur penting dalam eksistensi baterai sebagai salah satu pasar potensial dan merupakan salah satu cita-cita dari Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (KEMARVES).
Gambar 3. Produksi Bijih Nikel dan Tren Pertumbuhannya
Kesimpulan
Dalam kegiatan hilirisasi industri, Indonesia memiliki banyak potensi untuk menjadikan program hilirisasi industri berkembang dengan baik dan mulai berdaulat dalam melakukan pemanfaatan lebih dalam suatu komoditas. Dengan dukungan perusahaan, perilaku konsumen dalam mengkonsumsi produk, dan pasar luar negeri yang menjadi prospektivitas pasar untuk kegiatan ekspor. Pada industri kakao, perkembangan produksinya pernah termasuk dalam kategori stagnan. Baik dalam segmen ekspor maupun impor dari komoditas kakao. Namun, karena adanya program hilirisasi industri produksi kakao dapat ditingkatkan menjadi industri cokelat. Pada industri CPO, value added yang dihasilkan memiliki kategori yang beragam. Salah satu contohnya adalah biofuel dengan komoditas biodiesel. Beberapa perusahaan di kota penghasil CPO terbesar yakni Sumatera Utara memiliki produksi CPO yang sudah berkembang menjadi berbagai macam produk seperti biodiesel, minyak goreng, sabun, dan lilin. Pada industri nikel, Indonesia telah mencapai keunggulan kompetitif dengan nilai produksi dan ekspor nikel yang besar dan Indonesia akan mengembangkan nilai dari nikel dengan produksi baterai di Indonesia.
Referensi
Barner, J. B., & Hesterly, W. S. (2012). Strategic Management and Competitive Advantage: Concept and Cases 4th Ed. New Jersey: Pearson Education Inc. |
Departemen Perindustrian RI. (2007). Gambaran Sekilas Industri Kakao. Jakarta: Sekretariat Jendral Kementerian Perindustrian. |
Engelen, A., & Akuba, R. H. (2016). Analisis Rantai Nilai Kakao di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. |
Fatimah, & M, S. (2019). Efisiensi Biaya Produksi Sebagai Pengendalian Biaya Produksi. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 13. |
Grant, R. M. (2010). Contemporary Strategy Analysis. London: John Wiley & Sons Ltd. |
Hadinata, Sebastian. Maranti, Merry Maria. (2020). “Analisis Dampak Industri Kakao di Indonesia”. Bandung: Universitas Kristen Maranatha. Jurnal Akuntansi Vol. 12, No. 1, PP 99-108. ISSN 2085-8698. |
Handoyo. (2012, Desember 26. Mutu Industri Pengolahan Kakao Bermula dari Hulu. Retrieved from https://industri.kontan.co.id/news/ mutu-industri-pengolahan-kakaobermula-dari-hulu. |
Hayami, Y., T, Kawagoe, Y. Morooka dan M. Siregar. (1987), Agricultural Marketing and Processing in Upland Java A Perspective from A Sunda Village, CGPRT Centre, Bogor. |
Haynes, J., Cubbage, F., Mercer, E., & Sills, E. (2012). The Search for Value and Meaning in the Cocoa Supply Chain in Costa Rica. Sustainability, 1466-1487. |
Kementerian Perdagangan RI. (2014). Analisis Pembebasan Bea Masuk Biji Kakao. Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan. |
Matupalesa, A., Nauly, Y. D., & Fanani, I. (2019). HILIRISASI INDUSTRI SAWIT DI SUMATERA UTARA. JURNAL PERSPEKTIF BEA DAN CUKAI, 3(1). https://doi.org/10.31092/jpbc.v3i1.280. |
Pahan, Iyung. (2008). Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Bisnis dari Hulu hingga Hilir. Depok: Penebar Swadaya. |
Palm Oil Agribusiness Strategy Policy Institute (PASPI). (2014). The Sustainability of Indonesian Palm Oil Industry. Bogor: PASPI. |
Pearce & Robinson. (2008). Manajemen Strategis Formulasi Implementasi dan Pengendalian. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. |
Syaukat, Yusman. (2010). Journal: The Impacts of Export Tax Policy on the Indonesian Crude Palm Oil Industry. Journal of ISSAAS Vol.15 No.2. 2010-ISSN 0859-3132. |
Tambunan Dkk, (2013). Kebijakan Industri dalam Menyongsong ME-ASEAN 2015. Policy Paper Edisi 16 April 2013. |
Widyasari, Esti. (2014). Hilirisasi Kelapa Sawit Kokohkan Indonesia. Retrieved from http://www.tambang.co.id/detail_berita.php?category=18&newsnr=8865 (2018, April 3). |
Yudie23. (2013). Kebijakan Substitusi Impor dan Promosi Ekspor. Retrieved from http://blog.umy.ac.id/opissen/2013/05/22/kebijakan-substitusi-impor-dan-promosi-ekspor/. (2018, April 10).25. |